Abstract:
Perbuatan Eksibisionisme yang dilakukan terhadap anak, dapat dilihat
salah satu kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 865K/Pid.Sus/2013,
dimana hakim membebaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum. Namun, ada
alasan yang bisa mengurangi hukuman bagi terdakwa, yaitu penyakit yang
diderita oleh terdakwa yaitu kelainan seks jenis eksibisionisme dimana terdakwa
tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku eksibisionisme,
analisis Hakim yang memvonis pelaku eksibisionisme pada Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tinggi, serta Kontroversial Putusan Hakim yang membebaskan
pelaku eksibisionisme pada tingkat Kasasi.
Jenis dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah hukum normatif
dengan sifat yang digunakan adalah deskriptif, dengan menggunakan data
kewahyuan dari al-quran/hadits dan data sekunder. Kemudian, data diolah dengan
menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku eksibisionisme dalam KUHP dirumuskan dalam Pasal 281 ayat (1) dan
Pasal 281 ayat (2) KUHP. Analisis hakim yang memvonis pelaku eksibionisme
pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tersebut dengan menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa pada dasarnya sudah sesuai, karena hakim
menggunakan teori monistis yang dimana tidak memisahkan antara tindak pidana
dengan kesalahan. Karena kesalahan merupakan unsur tindak pidana, maka
berdasarkan asas „tiada pidana tanpa kesalahan‟, Terbuktinya seluruh unsur tindak
pidana dapat membuktikan tindak pidana sekaligus adanya pertanggungjawaban
pidana bagi pelaku eksibionisme. Kontroversial Putusan Hakim yang
membebaskan pelaku eksibisionisme pada tingkat Kasasi bahwa Hakim kasasi
beralasan Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena perbuatan
Terdakwa tidak dapat diterapkan dakwaan alternatif Kedua Pasal 290 ke-2
KUHPidana atau dakwaan ketiga Pasal 281 ke-2 KUHPidana sebab korbannya
adalah anak. Serta terdakwa juga harus dibebaskan atas perbuatannya, walaupun
ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, akan tetapi adanya Pasal
44 KUHP menjadikan terdakwa tidak dapat dibebankan pertanggungjawban
perbuatannya.