Abstract:
Perjanjian merupakan salah satu instrumen penting dalam hukum perdata
yang mengatur hak dan kewajiban para pihak. Namun, tidak semua perjanjian
diakui keabsahannya oleh hukum, khususnya ketika perjanjian tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu
praktik yang sering menimbulkan perdebatan adalah perjanjian nominee (pinjam
nama) dalam pembelian properti oleh Warga Negara Asing (WNA) melalui Warga
Negara Indonesia (WNI). Praktik ini dilakukan untuk menghindari larangan
kepemilikan tanah bagi WNA sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi: (1)
bagaimana bentuk dan mekanisme hukum terkait perjanjian pinjam nama dalam
pembelian properti oleh WNA menurut KUHPerdata, (2) bagaimana keabsahan
perjanjian tersebut dilihat dari syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
serta (3) bagaimana kedudukan hukum perjanjian nominee dalam transaksi
pembelian properti di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif
dengan pendekatan deskriptif-analisis. Data yang digunakan bersumber dari bahan
hukum primer berupa peraturan perundang-undangan seperti KUHPerdata, UUPA,
serta putusan pengadilan; bahan hukum sekunder berupa literatur hukum dan
penelitian terdahulu; serta bahan hukum tersier berupa ensiklopedia dan kamus
hukum. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, kemudian
dianalisis secara kualitatif dengan mengaitkan ketentuan normatif dan doktrin
hukum untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian nominee dalam pembelian
properti oleh WNA tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. Meskipun secara
formal memenuhi unsur kesepakatan dan kecakapan, perjanjian ini tidak memenuhi
unsur “sebab yang halal” sebagaimana disyaratkan Pasal 1320 KUHPerdata karena
bertentangan dengan UUPA dan prinsip hukum agraria nasional. Kedudukan
hukum perjanjian nominee dinilai lemah dan batal demi hukum, sehingga tidak
memberikan perlindungan hak kepada WNA dan berpotensi menimbulkan
sengketa. Oleh karena itu, perjanjian nominee tidak dapat dijadikan dasar hukum
kepemilikan properti di Indonesia, dan pemerintah perlu memperkuat regulasi serta
pengawasan untuk mencegah praktik penyelundupan hukum tersebut.