Abstract:
Salah satu kemajuan teknologi dibidang kesehatan adalah transplantasi 
organ tubuh sehingga penyediaan “spare part organ” menjadi hal yang memiliki 
pasar tersendiri. Hakikatnya tubuh manusia merupakan titipan dari Allah SWT, 
namun bukan berarti tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan dengan keinginan 
manusia. Terdapat beberapa batasan dalam mentransplantasikan organ tubuh yaitu, 
tidak diperbolehkan jika dapat membahayakan kehidupan si pendonor sendiri meski 
untuk meyelamatkan orang lain. Hal ini malah membuat para oknum oknum tidak 
bertanggung jawab melakukan penjualan organ tubuh manuisa secara illegal. 
Melalui platform media sosial kejahatan penjualan tubuh secara online mulai 
mengkhawatirkan masyarakat Indonesia. Praktik ini bukan hanya melanggar 
hukum, tetapi juga mengancam nilai kemanusiaan dan HAM.  
Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode yuridis 
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Bahan hukum 
yang diperoleh bersumber dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang 
Kesehatan, KUHP, ITE, dan peraturan terkait lainnya.  
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa meskipun telah ada ketentuan 
hukum yang melarang praktik perdagangan organ, penegakan hukunnya masih 
lemah akibat keterbatasan pengawasan digital dan belum adanya pengaturan secara 
khusus mengatur mekanisme perlindungan korban maupun penindakan terhadap 
pelaku di ruang siber.Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis 
hakim dalam putusan tersebut menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada 
terdakwa berdasarkan pasal 83 jo. Pasal 64 ayat (3) Udang-Undang Kesehatan (UU 
No.36 Tahun 2009 yang saat itu masih berlaku), vonis yang dijatukan hanya selama 
dua tahun, dirasakan belum mencermikan hukuman maksimal terhadap korban dan 
belum memperhitungkan aspek kemanusiaan dalam pertimbangan hukumnya dan 
belum optimal untuk mencapai efek jera. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan 
dan kebijakan mengenai kejahatan organ tubuh.