Abstract:
Pembatalan perjanjian polis asuransi secara sepihak menimbulkan 
ketidakpastian hukum bagi nasabah. Pasal 251 KUHD memberi kewenangan bagi 
penanggung untuk membatalkan polis jika tertanggung tidak memberikan 
keterangan yang benar, meskipun tanpa unsur kesengajaan. Hal ini menempatkan 
tertanggung pada posisi yang lemah dan rentan dirugikan. Permasalahan tersebut 
mencapai titik penting setelah Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 83/PUU
XXII/2024 menyatakan Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat. Dengan 
putusan ini, pembatalan sepihak tidak lagi sah, kecuali dilakukan melalui 
kesepakatan para pihak, putusan pengadilan, atau lembaga penyelesaian sengketa. 
Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan 
perundang-undangan dan kasus. Bersifat deskriptif, penelitian ini bertujuan 
menganalisis norma hukum yang berlaku. Data sekunder diperoleh melalui studi 
kepustakaan, baik offline maupun online, kemudian dianalisis secara kualitatif 
untuk menghasilkan pemahaman komprehensif 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) sebelum putusan Mahkamah 
Konstitusi No. 83/PUU-XXII/2024 , pembatalan polis asuransi secara sepihak sah 
berdasarkan Pasal 251 KUHD, sedangkan setelah putusan Mahkamah Konsitusi  
No. 83/PUU-XXII/2024 tersebut, pembatalan hanya dapat dilakukan melalui 
kesepakatan, putusan pengadilan, atau penyelesaian sengketa, (2) akibat hukum 
pasca putusan memperkuat posisi nasabah, karena penanggung tidak lagi memiliki 
kewenangan mutlak untuk membatalkan polis tanpa proses hukum yang adil dan 
(3) perlindungan hukum bagi pemegang polis semakin terjamin melalui prinsip 
kepastian hukum, asas keadilan kontraktual, serta pengawasan regulator yang 
mengharuskan revisi klausula baku dalam perjanjian asuransi. Dengan demikian, 
Putusan MK No. 83/PUU-XXII/2024 tidak hanya menutup ruang bagi praktik 
sepihak yang merugikan nasabah, tetapi juga menjadi tonggak penting dalam 
penguatan perlindungan konsumen di bidang asuransi. Meskipun demikian, 
berdasarkan dua studi kasus putusan pengadilan, implementasi konkret terhadap 
Putusan MK ini belum sepenuhnya terwujud dalam praktik