Abstract:
Penerapan restitusi sebagai bentuk pemulihan hak korban dalam tindak
pidana, khususnya penganiayaan, masih menghadapi berbagai hambatan di tingkat
implementasi, terutama di lingkungan kepolisian. Polrestabes Kota Medan sebagai
lembaga penegak hukum yang menangani berbagai perkara penganiayaan memiliki
tantangan dalam menegakkan ketentuan restitusi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017. Rendahnya kesadaran pelaku,
terbatasnya kapasitas penyidik, dan minimnya koordinasi antar lembaga menjadi
faktor penghambat utama dalam pelaksanaan restitusi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan
pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara langsung dengan penyidik
di Polrestabes Kota Medan serta studi dokumen terhadap putusan pengadilan dan
regulasi yang berlaku. Analisis dilakukan dengan mengkaji keterkaitan antara
norma hukum yang berlaku dengan pelaksanaan di lapangan, serta memperhatikan
faktor sosial dan kelembagaan yang memengaruhi penerapan restitusi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya Polrestabes Kota Medan dalam
mengatasi hambatan penerapan restitusi dilakukan melalui pelatihan penyidik,
koordinasi dengan LPSK, serta penyusunan SOP internal. Meskipun demikian,
masih terdapat kendala berupa keterbatasan anggaran dan belum optimalnya
sosialisasi kepada korban mengenai hak atas restitusi. Penegakan hukum pidana
yang berkeadilan memerlukan dukungan kebijakan lintas sektor serta penguatan
kapasitas institusi kepolisian sebagai garda terdepan dalam proses penyidikan.