Abstract:
Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc dibentuk sebagai respons terhadap
tuntutan keadilan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi di Indonesia
pada masa lalu, seperti tragedi Timor Timur. Namun, keberadaan dan efektivitas
pengadilan ini masih menimbulkan berbagai pertanyaan, baik dari segi kewenangan,
kedudukan dalam sistem ketatanegaraan, maupun kendala-kendala dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada tiga rumusan
masalah utama, yaitu: bagaimana pengaturan kewenangan Pengadilan Hak Asasi
Manusia ad hoc dalam menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, bagaimana
kedudukannya dalam sistem hukum tata negara di Indonesia, serta apa saja kendala
yang dihadapi dalam menjalankan kewenangannya.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu pendekatan yang
menitikberatkan pada studi terhadap peraturan perundang-undangan, doktrin hukum,
serta putusan pengadilan yang relevan. Sumber data diperoleh melalui studi
kepustakaan yang mencakup analisis terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UUD NRI Tahun 1945, serta berbagai
literatur dan dokumen hukum lainnya. Pendekatan ini digunakan untuk memahami
konsep, dasar hukum, dan pelaksanaan kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia
ad hoc secara normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan Pengadilan Hak Asasi
Manusia ad hoc dibatasi hanya pada pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sebelum
tahun 2000 dan hanya dapat dibentuk atas usul DPR dan di putuskan oleh presiden,
yang menyebabkan proses pembentukannya bersifat politis. Kedudukannya dalam
sistem hukum tata negara di Indonesia menjadikan Indonesia negara hukum dan
melindungi hak asasi manusia untuk semua rakyat indonesia. Kendala utama dalam
pelaksanaannya meliputi hambatan politis, keterbatasan bukti dan saksi, serta
kurangnya perlindungan terhadap korban dan saksi. Hal ini menunjukkan perlunya
reformulasi mekanisme dan penguatan institusi untuk menjamin efektivitas
penegakan hukum HAM di Indonesia.