Abstract:
Penegakan hukum yang berlandaskan prinsip keadilan dan penghormatan
hak asasi manusia merupakan kewajiban setiap aparat kepolisian. Namun, dalam
praktiknya masih ditemukan pelanggaran oleh anggota kepolisian terhadap
terduga pelaku tindak pidana, salah satunya berupa kekerasan fisik. Penelitian ini
mengkaji mekanisme pemeriksaan anggota Kepolisian Republik Indonesia yang
melakukan kekerasan dengan studi kasus di Bidang Profesi dan Pengamanan
(Bidpropam) Polda Sumatera Utara, dengan pokok bahasan mengenai dasar
hukum, prosedur pemeriksaan, serta hambatan dan upaya penyelesaiannya.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan
pendekatan peraturan perundang-undangan, literatur hukum, serta data empiris
melalui wawancara dan studi dokumen di Bidpropam Polda Sumatera Utara. Data
dianalisis secara deskriptif dan kualitatif untuk memberikan gambaran mengenai
penerapan mekanisme pemeriksaan terhadap aparat kepolisian yang melakukan
kekerasan terhadap terduga pelaku tindak pidana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan anggota Polri
didasarkan pada dua landasan hukum utama. Pertama, pemeriksaan dari aspek etik
yang diatur melalui Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik
Profesi Polri yang pelaksanaannya dilakukan oleh Komisi Kode Etik Polri dan
didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan
Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan, serta
Peraturan Kepala Divisi Propam Polri Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penyelesaian
Perdamaian pada Pelanggaran Disiplin dan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Kedua, dari aspek pidana umum yang berlandaskan KUHP
dan KUHAP serta diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, mekanisme
pemeriksaan berjalan melalui dua jalur, yakni etik yang berorientasi pada disiplin
dan profesionalitas, serta pidana umum yang menekankan pertanggungjawaban
hukum. Hambatan yang ditemukan adalah lemahnya koordinasi antara fungsi
pengawasan internal (Propam dan Komisi Kode Etik) dengan penyidik pidana
umum, sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan menurunkan
efektivitas pemeriksaan. Adapun upaya penyelesaian dilakukan melalui penguatan
regulasi internal, peningkatan transparansi, serta optimalisasi pengawasan
eksternal.