Abstract:
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh praktik jual beli rumah melalui kuasa
substitusi yang semakin marak namun seringkali menimbulkan persoalan hukum.
Kuasa substitusi sebagai pelimpahan wewenang dalam perjanjian jual beli rumah
menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan dan perlindungan hukum bagi para
pihak, terutama ketika terjadi penyalahgunaan kewenangan. Rumusan masalah
pada Penelitian ini adalah 1) Bagaimana kedudukan hukum kuasa substitusi dalam
transaksi jual beli rumah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)?
2) Bagaimana kelemahan dan kelebihan hukum yang ditimbulkan jual beli rumah
berdasarkan kuasa subsitusi? 3) Bagaimana mitigasi hukum dalam menghindari risiko
pada trsanksi jual beli rumah berdsarkan kuasa subsitusi?.
Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Sumber data pada penelitian ini
terdiri dari data sekunder dan data Al-Islam. Data Al-Islam diperoleh melalui Al-Quran
yakni dengan menggunakan Surah An-Nisa Ayat 29. Sedangkan data sekunder pada
penelitian ini terdiri dari 3 bahan antara lain: 1) Bahan hukum primer, 2) Bahan hukum
sekunder, 3) Bahan hukum tersier. Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam
penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) yang
dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) Offline, 2) Online. Analisis data yang sesuai
dengan penelitian deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) kedudukan kuasa substitusi dalam
transaksi jual beli rumah menurut KUHPerdata menunjukkan bahwa instrumen ini
diakui sebagai bentuk pelimpahan wewenang dari penerima kuasa kepada pihak
ketiga. Meskipun Pasal 1803 KUHPerdata memperbolehkan substitusi, namun
implementasinya harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti adanya
kewenangan eksplisit dari pemberi kuasa dan kepatuhan terhadap bentuk hukum
formal. 2) Kelebihan kuasa substitusi terletak pada kemampuannya menjangkau kondisi
tertentu. Misalnya dalam keadaan pemberi kuasa sedang berada di luar negeri. Proses
hukum tetap berjalan tanpa menghambat transaksi. Pelaksanaan substansi jual beli tidak
terhenti karena ketidakhadiran fisik pihak utama. Hal ini mendukung asas kepastian
hukum dalam perjanjian perdata. Kelemahan kuasa substitusi terletak pada potensi
penyimpangan wewenang. Substitusi dapat bertindak di luar batas kuasa jika tidak
diawasi. Risiko penyalahgunaan wewenang meningkat apabila surat kuasa disusun secara
umum. Ketidaktepatan dalam formulasi klausul bisa menyebabkan kerugian pihak
pembeli. Hal ini menjadi celah hukum yang cukup signifikan. 3). Mitigasi hukum
untuk mencegah risiko yang ditimbulkan oleh penggunaan kuasa substitusi dapat
dilakukan melalui pendekatan normatif dan teknis yang terstruktur. Secara
normatif, dibutuhkan penegasan pengaturan dalam akta mengenai batasan, jangka
waktu, dan kewenangan yang dilimpahkan dalam substitusi