Abstract:
Tindak pidana perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual yang
berdampak berat bagi korban, termasuk menyebabkan kehamilan yang tidak
diinginkan. Dalam konteks ini, korban sering menghadapi dilema moral, sosial,
dan psikologis yang sangat kompleks. Abortus terapeutik menjadi pilihan krusial
demi menyelamatkan korban dari penderitaan lanjutan, namun legalitas tindakan
ini masih menimbulkan perdebatan. Penelitian ini mengkaji secara mendalam
kedudukan hukum penghapusan pidana atas tindakan abortus terapeutik dalam
kasus perkosaan, sebagai bentuk perlindungan hak korban, serta relevansinya
dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia dalam hukum Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
bersifat deskriptif dengan pendekatan undang-undang (statute approach). Data
diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan
seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Analisis dilakukan secara kualitatif dengan menelaah norma hukum yang berlaku,
serta meninjau pendapat para ahli dan pendekatan etik maupun medis. Tujuan
penelitian adalah menggambarkan dasar penghapusan pidana serta dampaknya
terhadap perlindungan hak korban kehamilan akibat perkosaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghapusan pidana terhadap
abortus terapeutik telah memiliki dasar hukum yang jelas, namun
implementasinya masih menghadapi kendala struktural dan kultural. Hambatan
seperti keterbatasan akses, prosedur rumit, serta stigma terhadap korban dan
tenaga medis masih menjadi tantangan utama. Penegakan hukum harus mampu
menempatkan korban sebagai subjek utama perlindungan hukum, dan tidak lagi
terjebak pada pendekatan represif. Perlindungan yang adil dan manusiawi
terhadap korban kekerasan seksual memerlukan sistem hukum yang responsif
terhadap kebutuhan darurat dan trauma yang dialami korban.