Abstract:
Banyak kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah
satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum
mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai
tempat berlindung. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak
menuai keritik dari berbagai elemen masyarakat. Petanyaan yang sering
dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah telah berupaya memberikan
perlindungan (hukum) pada anak, sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas
kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Jenis pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis nomatif
dengan sifat penelitian deskritif, yang menggunakan data hukum islam dan data
sekunder. Data yang diperoleh dengan cara menggunakan menganalisis pasal 81
Ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Kemudian data diolah dengan menggukan analisis kualitatif.
Pasal yang mengatur tindak pidana pemerkosaan secara umum di atur
dalam Pasal 285 yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.” Sedangkan secara khusus di atur dalam Pasal 81 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Hukuman mati di Indonesia
tidak bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana telah diputus oleh mahkamah
konstitusi, di antaranya dalam putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 terkait
dengan permohonan pengujian Undang-Undang 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hukuman Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, dimana amar putusan tersebut menyatakan permohonan pemohon
ditolak untuk seluruhnya sehingga hukuman mati terhadap pelaku dapat tetap
dilaksanakan dan hukuman mati tidak melanggar hak asasi manusia.