Abstract:
Indonesia sebagai salah satu negara hukum memiliki perlindungan yang
lebih konkrit terhadap bentuk hak asasi manusia. Begitu pula dalam hak setiap
orang untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing
masyarakat indonesia. Sejatinya kebebasan untuk melaksanakan peribadatan
menurut agama dan kepercayaan merupakan hak yang dimiliki setiap individu
dengan tidak dapat dibatasi (restriksi). Untuk itu pelaksanaan peribadatan menurut
agama dan kepercayaan merupakan sesuatu yang harus dilindungi. Namun
demikian, berbeda halnya dengan pendirian tempat ibadah. Pendirian tempat
ibadah bukan hanya menjadi bentuk privat setiap orang tapi telah menjadi seuatu
yang meranah kepublik masyarakat sehingga dilakukan penetapan-penetapan
tertentu untuk menjaga ketertiban umum serta sosial kemasyarakatan.
Salah satu ketetapan itu dilakukan melalui pembentukan Kementerian
Agama sebagai salah satu lembaga departemen dibawah naungan Presidenan yang
bertugas dalam segala hal terkait dengan keagamaan. Untuk itu salah satu peran
sentral yang dimiliki Kementerian Agama ialah untuk menciptakan kerukunan
diantara masyarakat selaku umat beragama. Bercerminkan pada akhir 2015 yang
lalu diwilayah tingkat II kabupaten Aceh Singkil terjadi konflik lintas agama yang
didasari oleh pendirian tempat ibadah yang ilegal. Untuk itu menarik apakah
Kantor Kementerian Agama wilayah Kabupaten dapat melakukan pengawasan
terhadap pendirian rumah ibadah?. Dalam hal pendirian rumah ibadah setidak nya
terdapat tiga syarat yang harus dapat terpenuhi diantaranya syarat administratif,
syarat teknis, dan syarat khusus.
Untuk itu, dalam tulisan ini yang menjadi kajian ialah peran Kementerian
Agama kabupaten Aceh Singkil dalam Pengawasan Pembangunan Rumah Ibadah
yang coba penulis ulas melalui bentuk deskriftif-analisis dengan pendekatan
penelitian hukum sosiologis (yuridis empiris).