Abstract:
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat mencakup beberapa
hal yaitu penderitaan atau penelantaran rumah tangga, kekerasan secara fisik,
kekerasan seksual bahkan kekerasan secara psikis. Terkait dalam membuktikan
kekerasan psikis yang dialami korban KDRT sangat berbeda dengan KDRT fisik,
seksual maupun penelantaran dalam rumah tangga, untuk membuktikan KDRT
secara psikis mempunyai proses yang khusus dibandingkan dengan KDRT secara
fisik maupun seksual, karena KDRT secara psikis ini harus dibantu oleh seorang
dokter atau ahli psikiater dalam proses pembuktiannya untuk menentukan benar
atau tidaknya seorang korban mengalami suatu tindak pidana kekerasan psikis.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kedudukan, mekanisme dan
hambatan psikiater dalam membuktikan kekerasan psikis korban KDRT pada
tingkat penyidikan.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum yang bersifat deskriptif
analisis dan menggunakan jenis penelitian yuridis empiris, yang diambil dari data
primer dengan melakukan wawancara dan data sekunder dengan mengelolah data
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh gambaran bahwa kedudukan
psikiater dalam membuktikan kekerasan psikis korban KDRT pada tingkat
penyidikan diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai salah satu alat bukti
yang sah yaitu alat bukti “keterangan ahli” dan keterangan dari hasil pemeriksaan
oleh ahli psikiater tersebut dituangkan dalam suatu surat yang disebut “Visum Et
Repertum Psychiatrycum” yang dijadikan alat bukti “surat” oleh penyidik.
Mekanisme psikiater dalam membuktikan kekerasan psikis korban KDRT melalui
beberapa tahapan-tahapan yaitu dengan melakukan wawancara psikiatri terhadap
korban, pemeriksaan status mental, penggunaan kuesioner dan menggunakan
pedoman penggolongan diagnosis gangguan jiwa III (PPDGJ III). Namun dalam
melakukan pemeriksaan terhadap korban, penyidik dan psikiater memiliki
hambatan dalam menentukan korban KDRT secara psikis dikarenakan bukanlah
hal yang mudah, hambatan penyidik dan psikiater membutuhkan waktu yang
lama, korban beralasan sudah kembali akur dengan pelaku dan kelemahan aturan
dalam menentukan korban KDRT yang mengalami kekerasan psikis tersebut.