Abstract:
Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata dan secara
keseluruhan juga merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga.
Permasalahan yang timbul setelah peristiwa kematian seseorang adalah masalah
bagaimana pengurusan dan kelanjutan terhadap hak-hak dan kewajiban si pewaris
atau orang yang meninggal dunia itu terhadap para ahli warisnya terutama yang
masih hidup. Salah satunya tentang halangan menjadi ahli waris yang disebutkan
dalam Pasal 173 KHI huruf b, yaitu “ Dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat”. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui
hukum waris Islam tentang penghalang hak waris, ketentuan Kompilasi Hukum
Islam tentang penghalang hak waris dan perspektif Hukum Islam terhadap pasal
173 b Kompilasi Hukum Islam tentang fitnah sebagai penghalang hak mewarisi.
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian
yuridis normatif yang diambil dari data sekunder dengan mengolah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang diperoleh dari studi
dokumentasi atau penelusuran literatur dan dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian didapati bahwa memfitnah sebagai halangan
kewarisan seperti dalam Pasal 173 huruf b KHI adalah seperti dalam ketentuan
Pasal 317 KUH Pidana, bukan memfitnah seperti pengertian masyarakat. Tetapi
sebagai ketentuan penghalang dalam kewarisan, harus menjalani dua kali proses
persidangan yaitu persidangan terhadap pewaris akibat dari pengaduan palsu
(memfitnah) ahli waris, yang selanjutnya tidak terbukti, dan pengadilan terhadap
ahli waris yang telah melakukan tindak pidana memfitnah tersebut atas dasar
pengaduan dari terfitnah. Keduanya bersifat kumulatif dan tidak terpisahkan.
Ketentuan mengenai memfitnah pewaris sebagai halangan dalam menerima harta
warisan seperti termuat dalam Pasal 173 huruf b Kompilasi Hukum Islam
sebaiknya dikesampingkan terlebih dahulu dan menjadi bahan pertimbangan bagi
Hakim Peradilan Agama untuk memakainya atau tidak, karena penulis
menemukan ketidaksesuaian dengan Hukum Islam dan mengingat KHI hanya
sebagai pedoman bagi hakim yang akan memutuskan.