Abstract:
Korupsi di lembaga peradilan menjadi sorotan. Harapan lembaga penegak
hukum menjadi benteng pencari keadilan serasa mustahil. Disisi lain, tindak
pidana korupsi yang selama ini dikenal masyarakat yang sering terjadi di lembaga
eksekutif atau legislatif, ternyata hal tersebut terjadi juga di lembaga yudikatif,
bahkan dilakukan oleh hakim di lembaga sekelas Mahkamah Konstitusi. Dalam
hukum formil yang berlaku pada hakim tetap sama, perbedaannya terletak pada
peradilan profesi atau kode etik disebabkan Akil Mochtar merupakan Hakim
Konstitusi.
Penelitian ini betujuan untuk mengetahui bentuk dan pertanggungjawaban
Hakim Mahkamah Konstitusi yang melakukan tindak pidana korupsi serta
menganalisis putusan Mahkamah Agung nomor 336 K/Pid.Sus/2015. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum
doktrinal, dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertuliskan peraturan
perundang-undangan, dan penelitian terhadap sistematika hukum dapat dilakukan
pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis.
Berdasarkan hasil penelitian ini bentuk dari tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi adalah melakukan tindak pidana
korupsi menerima suap dalam menangani perkara dibeberapa sengketa Pilkada
diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah UU Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Tipikor yaitu setiap orang yang dengan tujuan untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
pertanggungjawaban pidana Hakim Mahkamah Konstitusi yang melakukan tindak
pidana korupsi telah diatur sebagaimana terdapat dalam Pasal 12 ayat C UU
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Tipikor yang menyatakan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.-(satu miliar rupiah), dalam amar putusan
pada putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015 Majelis Hakim yang
memeriksa perkara tersebut tidak memasukkan unsur pemberatan pidana dalam
menjatuhkan hukuman sebab sebagai pejabat negara harusnya yang bersangkutan
harus menjaga kewibawaan hukum