Abstract:
Menurut hukum syara’ bayi tabung hukumnya boleh selama bibitnya
berasal dari pasangan suami-istri yang terikat perkawinan yang sah dan kemudian
dikandung serta dilahirkan oleh pasangan suami-istri tersebut. Hal ini dianggap
bagian dari sebuah bentuk ikhtiar yang dilakukan oleh pasangan suami-istri untuk
mendapatkan keturunan. Berdasarkan kajian diatas, jika melalui donor maka akan
timbul persoalan. Persoalan yang akan muncul di antaranya adalah
bertentangannya metode tersebut dengan hukum syara’ bayi tabung dan juga
dipertanyakannya status hukum anak yang dilahirkan akibat hasil dari teknik bayi
tabung tersebut.. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keabsahan anak
hasil inseminasi pendonor perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam, untuk
mengetahui penentuan nasab anak hasil inseminasi pendonor, dan untuk
mengetahui akibat hukum anak Hasil Inseminasi pendonor.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum yang bersifat deskriptif
analisis dan menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Melalui penelitian
deskriptif, peneliti berusaha mendiskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi
pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan mengolah data dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian Keabsahan anak hasil inseminasi pendonor
perspektif hukum perdata dan hukum islam, apabila menurut hukum Negara
hanya mengatur secara tegas mengenai anak sah, pengesahan anak luar kawin, dan
pengakuan terhadap anak luar kawin. Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari
perkawinan yang sah, kemudian dipertegas lagi mengenai anak sah dalam Pasal
250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang, perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Adapun inseminasi buatan dengan sperma dan ovum berasal dari orang lain
(donor), maka hukumnya dilarang oleh agama Islam dan anak hasil inseminasi
tersebut sama dengan anak zina (Pasal 43 dan 44 Undang-undang No. 1 Tahun
1974, serta KHI Pasal 100, 101 dan 102). Hal ini disebabkan terjadi kekaburan
atau ketidakjelasan nasab, yang sama sekali tidak dapat diketahui siapa bapak dan
ibu pendonor tersebut. Serta Akibat Hukum Anak Hasil Inseminasi Pendonor
yaitu menurut hukum positif adalah sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang
telah dilakukan maka anak tersebut secara yuridis menjadi ahli waris dari orang
tua yang mempunyai embrio karena dalam Hukum positif perjanjian tersebut
mengikat bagi mereka yang melakuka perjanjian tersebut