Abstract:
Diplomatik mempunyai tugas fungsi dasar sebagai mewakili Negara dan
bangsanya di Negara lain yaitu sebagai penyambung lidah diplomasi antara
bangsa dan negara penerima, segala kebijaksanaan yang dilakukan ialah sebagai
cerminan diri dari Negara pengirim. Dalam menjalankan tugasnya, para
Diplomatik dan gedung perwakilan akan mendapatkan hak kekebalan dan hak
keistimewaan yang di berikan Negara penerima. Sebelumnya, berkomunikasi
terbatas komunikasi udara membuat kebebasan berkomukasi berkembang antara
perwakilan-perwakilan tanpa bahwa melalui kementrian luar negeri. Telah diakui
oleh umum semua korespondensi resmi antara suatu perwakilan dan
pemerintahannya, dan kebebasannya ini harus dilindungi oleh Negara penerima
tercatat di Pasal 28-29. Oleh karena itu, setiap perwakilan Negara di luar negeri
mendapatkan hak kekebalan dan keistimewaan oleh Negara penerima. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui pelanggaran hak kekebalan terhadap kebebasan
berkomunikasi KBRI Di Myanmar menurut hukum internasional serta mengkaji
penyelesaian.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan
diambil dari data primer dan data sekunder dengan mengelolah data dari bahan
hukum primer , bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa Negara lain sebagai Negara
penerima selalu mengawasi gerak gerik dari Negara tamu mereka agar tidak tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti spionase kegiatan pemerintahan
militer. Kebiasaan internasional juga merupakan bagian dari sumber hukum
Diplomatik, walaupun kebiasaan internasional ini tidak Negara yang mematuhi
kebiasaan internasional. Menyusul merebaknya kasus penyadapan di Yangoon,
Mtyanmar tahun 2004 tim gabungan pejabat keamanan RI yang terdiri dari
Direktur Keamanan Diplomatik (Deplu), lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), serta
gedung KBRI Yangoon , Myanmar secara cermat pada tanggal 24 juni 2004,
menunjukkan bahwa junta militer Myanmar secara ilegal menyadap semua
aktivitas dan pembicaraan para diplomat Republik Indonesia yang bertugas di
Yangoon, Myanmar, sehingga terjadi penurunan frekuensi telepon dari 50Mhz
menjadi 30.1Mhz. dengan adanya kasus penyadapan ini kantor KBRI di Yangoon,
Myanmar mencerminkan lemahnya sistem pengamanan disekitar gedung
perwakilan Diplomatik, dimana yang seharusnya gedung berserta petugas misi
Diplomatik dilindungi Konvensi Wina 1961 dengan mendapatkan hak kekebalan
sebagai petugas misi dalam menjalankan diplomasinya dengan bebas
berkomunikasi, dan bebas dari segala bentuk iuran.