Abstract:
Mahkamah Konstitusi sebelumnya menempatkan posisi Komisi
Pemberantasan Korupsi menjadi lembaga merdeka yang menjalankan fungsi
yudikatif (fungsi kehakiman) melalui putusannya bernomor 012 – 016 – 019 /
PUU – IV / 2006. Pada saat ini Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang
bernomor 36 / PUU – XV / 2017 menyatakan bahwa karena KPK bertugas untuk
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi maka
KPK ditempatkan sebagai lembaga eksekutif khusus sehingga Dewan Perwakilan
Rakyat dapat mengajukan hak angket kepada KPK. Pertentangan antara putusanputusan
MK
tersebut
dapat
menyulitkan
majelis
hakim
Mahkamah
Konstitusi
apabila
kasus
serupa
muncul
kembali
dan
apakah
harus
mengikuti
putusan
Mahkamah
Konstitusi
pada
tahun
2006
atau
2017?
Tujuan
dari
penelitian
disini
yaitu
untuk
mencari
tahu
bagaimana
sinkronisasi
antara
kedua
putusan
MK
tersebut
dan
apa
saja
faktor-faktor
yang
dapat
mengurangi
efektifitas
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
dalam
memberantas
korupsi
menurut
hukum
positif
di
Indonesia.
Jenis dan pendekatan penelitian yang dilakukan di dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder sebagai
sumber data utamanya. Data sekunder adalah peraturan perundang-undangan,
dokumen, laporan, buku ilmiah, dan hasil penelitian terdahulu atau secara singkat
disebut sebagai data kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa putusan MK yang bernomor
36 / PUU - XV / 2017 bertentangan dengan putusan MK sebelumnya yang
bernomor 012 - 016 - 019 / PUU - IV / 2006 khususnya kelembagaan KPK dalam
tatanegara Indonesia yang ditempatkan dalam ranah eksekutif oleh majelis hakim
MK. Sebelumnya MK melalui putusannya bernomor 012 - 016 - 019 / PUU - IV /
2006 menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen
dalam ranah yudikatif karena melaksanakan fungsi kehakiman. Kontradiksi pada
putusan Mahkamah Konstitusi yang bernomor 012 - 016 - 019 / PUU - IV / 2006
dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 36 / PUU - XV / 2017 diperbolehkan
dengan syarat ada alasan masuk akal (logis) yang tepat serta tidak bisa hanya
bertajuk berdasarkan keyakinan seorang hakim semata. Masuknya lembaga
Komisi Pemberantasan Korupsi kedalam ranah eksekutif menurut Pasal 3
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentu bertentangan dengan independensi
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dicetuskan oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 012 - 016 - 019 / PUU - IV / 2006, ini diakibatkan karena Putusan
Mahkamah Konstitusi memiliki sifat mengikat secara permanen