Abstract:
Pencemaran laut merupakan fenomena yang terjadi akibat kelalaian
manusia terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya pencemaran
laut mengakibatkan penurunan kapasitas produksi yang bersumber dari laut,
produktivitas laut, dan tercemarnya Sumber Daya Laut. Konvensi Hukum Laut
Internasional atau UNCLOS 1982 menjelaskan aturan, tindakan, dan penggunaan
laut secara nasional dan/atau internasional. Kegiatan pencemaran timbul dari
berbagai sektor dan pelaku pencemara bukan hanya negara melainkan
kerberadaan korporasi juga mampu memicu munculnya pencemaran terutama
dalam bidang perairan yang akan merembes melalui aliran air dan juga mengikuti
gelombang angin (wind wave) hingga memasuki wilayah negara lain.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum sosiologis
menggunakan pendekatan yuridis empiris yang diambil dengan melakukan
wawancara dan data sekunder dengan mengolah data dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa penyelesaian sengekta laut
internasional sudah dijelaskan dalam Konvensi Internasional yaitu pada Pasal 287
ayat (1) Bab XV UNCLOS 1982 tentang Pemilihan Prosedur Penyelesaian.
Namun Perusahaan PTTEP Australasia tidak juga mengedepankan ikhtikad baik
(good faith) untuk menyelesaikan kasus ini melalui forum yang telah disediakan
dan tidak melakukan pembayaran ganti rugi kepada negara tercemar akibat dari
kegagalan atas kegiatan pengeboran sumur minyak lepas pantai (off-shore
drilling) oleh Perusahaan Thailand yang berada di Australia. Penilaian ini
didasarkan atas berlarut-larutnya kasus tumpahan minyak yang sudah mencemari
Laut Timor tanpa adanya tindakan yang serius antar negara dan korporasi setelah
proses negosiasi menemui jalan buntu (dead lock), untuk mengetahui bagaimana
upaya negara dalam mengatasi pencemaran laut, upaya negara tercemar kepada
negara yang melakukan pencemaran untuk menjalankan sanksi. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui upaya negara dalam penyelesaian sengketa
pencemaran di Laut Timor menurut hukum internasional