Abstract:
Infantisida merupakan tindak pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh
ibu kandungnya, sering kali dipengaruhi oleh kondisi psikologis pasca-persalinan
seperti baby blues syndrome. Meskipun baby blues tidak tergolong gangguan jiwa
berat, kondisi ini dapat berdampak signifikan pada kestabilan emosi dan kontrol
diri ibu. Di Indonesia, belum terdapat ketentuan hukum yang secara eksplisit
mengatur baby blues sebagai alasan pembelaan dalam kasus infantisida. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis penerapan hukum pidana terhadap pelaku
infantisida yang mengalami baby blues, mengevaluasi dasar pertimbangan
hukumnya, serta membandingkan perlakuan hukum terhadap pelaku dengan dan
tanpa gangguan psikologis.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bertujuan
untuk mengkaji norma-norma hukum yang berlaku, dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus, serta didukung oleh data
yang diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai sumber hukum dan psikologi
yang relevan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem hukum pidana di Indonesia
hingga saat ini belum secara tegas mengakui baby blues syndrome sebagai dasar
pembelaan pidana dalam kasus infantisida. Meskipun Pasal 341 KUHP
memberikan keringanan hukuman bagi ibu yang membunuh anaknya segera
setelah dilahirkan, dan Pasal 44 KUHP memberikan peluang penghapusan
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang mengalami gangguan jiwa, namun
belum ada regulasi khusus yang mengakomodasi baby blues sebagai kondisi
medis yang relevan dalam pertanggungjawaban hukum. Penerapan pasal-pasal
tersebut terhadap pelaku infantisida yang mengalami baby blues sangat
bergantung pada hasil pembuktian medis secara objektif, terutama melalui
keterangan dari ahli psikiater atau psikolog forensik. Dalam praktiknya, pelaku
yang mengalami gangguan psikologis dapat memperoleh pembelaan berupa
pengurangan atau penghapusan pidana, berbeda dengan pelaku tanpa gangguan
mental yang dikenai sanksi maksimal. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan
hukum dan penyusunan pedoman teknis yang lebih spesifik guna menjamin
keadilan yang berimbang antara perlindungan terhadap korban dan pemenuhan
hak pelaku yang mengalami gangguan psikologis pascapersalinan.