Abstract:
Provinsi Aceh meskipun telah menerapkan hukum Islam melalui beberapa
qanun, namun tidak berarti masalah tindak pidana tidak terjadi lagi disana. Salah
satu tindak pidana yang terjadi adalah prostitusi yang dalam ketentuan Qanun
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dimasukkkan kedalam tindak pidana
khalwat, ikhtilat maupun zina. Dalam tataran penegakan hukum ternyata pelaku
ketiga tindak pidana itu diberikan pilihan hukum antara hukuman cambuk,
membayar denda berupa emas atau kurungan badan (penjara). Masih terjadinya
tindak pidana prostitusi melalui media sosial menunjukkan bahwa kebijakan
kriminal yang ada belum efektif untuk menekan angka terjadinya prostitusi
apalagi dengan menggunakan media sosial, yang dianggap relatif lebih aman.
Diperlukan upaya yang lebih komprehensif tidak hanya dari sisi hukum untuk
memberantas tindak pidana prostitusi online ini.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan
perundang-undangan dan konsep. Penelitian ini bersifat deskriptif. Sumber data
dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu dilakukan dengan cara studi
pustaka (library research) atau penelusuran literatur di perpustakaan terhadap
bahan-bahan hukum tertulis yang relevan, dibantu dengan wawancara dengan
personel Polresta Banda Aceh dan Wilayatul Hisbah Aceh. Analisis data yang
dipakai dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa formulasi hukum tentang
tindak pidana transaksi prostitusi online melalui aplikasi media sosial adalah
melalui abolisi. Abolisi merupakan kebijakan penghapusan pelacuran dengan
menerapkan hukum serta regulasi secara konsisten dan berkelanjutan. Upaya ini
harus dilakukan dengan langkah yang komprehensif dengan penegakan hukum
serta adanya pemberitaan di media massa atau berbasis online untuk pelaku
pelacuran. Bahwa Penegakan hukum terhadap tindak pidana transaksi prostitusi
online melalui media sosial dilakukan melalui beberapa pasal yakni KUHP
mengaturnya dalam 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 296 dan 506, Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi diatur dalam Pasal 4 ayat (2) mengatur
tentang orang yang menyediakan jasa pornografi, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik juga telah mengatur terkait dengan prostitusi online yang
termaktub dalam Pasal 27. Bahwa kebijakan penanggulangan terhadap tindak
pidana transaksi prostitusi online melalui media sosial harus diarahkan dengan
membuka ruang yang sama kepada pelacur dan pengguna jasanya untuk
dikrimnalisasi