dc.description.abstract |
Seiring Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) selama ini cenderung mengutamakan
jalur pidana yang berfokus pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari
pada perampasan aset negara, kenyataanya jalur pidana tidak cukup ampuh untuk
merendam, mencegah, memberantas dan mengurangi kuantitas tindak pidana korupsi.
Sementara rejim civil forfeiture dapat lebih efektif untuk merampas aset yang dicuri para
pelaku dibandingkan pidana sebab civil forfeiture mempunyai kelebihian mempermudah
perampasan aset melalui pembuktian terbalik murni, Dimana terdakwa yang harus
membuktikan bahwa harta itu adalah miliknya dan bukan berasal dari suatu tindak
pidana. Perampasan hasil kejahatan merupakan langkah penting dalam memutus mata
rantai kejahatan, terutama kejahatan terorganisir dan kejahatan kerah putih. Pendekatan
civil forfeiture atau perampasan aset secara perdata menawarkan mekanisme yang lebih
fleksibel dibandingkan pendekatan pidana tradisional, karena tidak memerlukan putusan
pidana terhadap pelaku. Penelitian ini mengkaji konsep, dasar hukum, Metode yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan analisis terhadap peraturan
perundang-undangan dan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun
civil forfeiture belum sepenuhnya diadopsi dalam sistem hukum nasional, penerapannya
dapat menjadi instrumen efektif dalam mengembalikan aset hasil kejahatan kepada
negara, selama tetap menjamin perlindungan terhadap hak asasi dan prinsip keadilan.
Diperlukan reformasi hukum yang komprehensif untuk mengakomodasi pendekatan ini
secara proporsional dalam sistem peradilan Indonesia. |
en_US |