Abstract:
Persetujuan yang diinformasikan (informed consent) merupakan aspek
penting dalam praktik medis yang menjamin hak pasien untuk memahami serta
menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan. Dalam hukum pidana, prinsip ini
tidak hanya sebagai perlindungan hukum bagi pasien tetapi juga sebagai bentuk
kepatuhan tenaga medis terhadap standar profesional. Namun, masih banyak
ditemukan kasus ketika tenaga medis melanggar prosedur ini, baik karena kelalaian
maupun kesengajaan. Hal ini dapat berimplikasi pada sanksi pidana, terutama jika
tindakan medis tanpa persetujuan menyebabkan dampak merugikan bagi pasien.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek hukum pidana yang mengatur
pelanggaran terhadap informed consent dalam tindakan medis. Studi ini menyoroti
regulasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Selain itu, penelitian ini mengeksplorasi
unsur-unsur tindak pidana dalam pelanggaran informed consent dan bagaimana
pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap tenaga medis maupun
institusi kesehatan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif dengan analisis terhadap peraturan perundang-undangan serta studi kasus
putusan pengadilan yang berkaitan dengan pelanggaran informed consent.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap literatur hukum,
dokumen regulasi, serta yurisprudensi yang relevan. Analisis difokuskan pada
bagaimana unsur pidana diterapkan dalam kasus ini, termasuk pertimbangan hakim
dalam menentukan tingkat kesalahan tenaga medis serta peran rumah sakit dalam
memastikan kepatuhan terhadap prosedur persetujuan medis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga medis yang tidak memperoleh
informed consent dari pasien dapat dikenakan sanksi pidana, terutama berdasarkan
Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian atau Pasal 360
KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat. Dalam kasus tertentu, Pasal
351 KUHP tentang penganiayaan juga dapat diterapkan jika tindakan medis tanpa
persetujuan pasien dianggap sebagai perbuatan yang disengaja. Selain itu, rumah
sakit sebagai institusi dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan doktrin
vicarious liability, terutama jika terbukti bahwa sistem administrasi mereka gagal
memastikan kepatuhan tenaga medis terhadap prosedur informed consent. Oleh
karena itu, diperlukan penguatan regulasi dan implementasi kebijakan yang lebih
ketat guna mencegah pelanggaran ini di masa mendatang.