Abstract:
Perkawinan poligami yang dilakukan diluar ketentuan hukum yang
berlaku akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berupa sanksi pidana.
Poligami di Indonesia diatur dalam Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam. Serta ketentuan sanksi yang termuat dalam KUHP.
Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaku
tindak pidana poligami tanpa izin menurut peraturan perundang – undangan di
Indonesia, bagaimana bentuk sanksi pidana terhadap pelaku poligami tanpa izin
menurut peraturan perundang – undangan di Indonesia, dan bagaimana
perbandingan penerapan sanksi pidana pada pelaku poligami tanpa izin menurut
KUHP lama dengan KUHP baru berdasarkan asas kemanfaatan.
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif
dengan data sekunder yang diperoleh secara studi kepustakaan (library research).
Kemudian, data diolah dengan menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan hukum terhadap
tindak pidana poligami tanpa izin termuat dalam undang – undang perkawinan
yang berkenaan dengan masalah poligami diatur pada Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada Pasal 55 sampai Pasal 59.
Terhadap tindakan poligami tanpa izin, dapat diberikan pertanggungjawaban
pidana, walaupun tidak diatur dalam undang – undang perkawinan, tetapi dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dimana pelaku tindak pidana
poligami dapat dikenai sanksi pidana berupa denda. Walaupun terdapat perbedaan
dalam KUHP dan dalam Undang – undang perkawinan. Dalam KUHP sanksi
terhadap pelaku poligami tanpa izin tersebut diatur dalam Pasal 279 KUHP.
Dalam konteks asas kemanfaatan, KUHP yang baru lebih mengutamakan
perlindungan terhadap hak – hak individu, kesejahteraan keluarga, dan keadilan
sosial, sehingga mungkin mengatur poligami tanpa izin dengan sanksi yang lebih
tegas atau menetapkan persyaratan yang lebih ketat untuk melakukan poligami,
serta untuk memastikan bahwa poligami dilakukan dengan memperhatikan
kepentingan semua pihak.