Abstract:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 3096/K.Pid.Sus/2018 pada amarna
menyatakan Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan penipuan dan pencucian uang berlanjut.
Dengan demikian Andika Surachman dipidana penjara selama 20 (dua puluh)
Tahun, dan Anniesa Desvitasari Hasibuan dipidana penjara selama 18 (delapan
belas) Tahun dan pidana denda masing-masing terdakwa sebesar Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Hal yang menarik pada putusan
tersebut adalah adanya perampasan barang bukti yang merupakan aset PT. First
Travel yang diperolah dari hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara.
Adapun barang bukti yang dirampas tersebut adalah barang bukti nomor urut 147-
543, yang di mana barang bukti tersebut sebagian besar adalah milik nasabah PT.
First Travel. Perampasan itu dilakukan di luar dari ketentuan Pasal 378 KUHP
dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, dasar pertimbangan
hakim dalam merampas barang bukti tersebut sesuai pada Pasal 39 KUHP, Pasal
46 KUHP, dan Pasal 194 ayat (1) KUHAP. Jika hal ini dikaitkan dengan Pasal 7
ayat (2) huruf e UU Nomor 8 Tahun 2010 maka perampasan tersebut merupakan
hukuman tambahan yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korporasi.
Sementara terdakwa adalah pengurus PT. First Travel.
Jenis penelitian ini adalah Yuridis Normatif dengan sifat deskriptif
analitis. Adapun metode pendekatan menggunakan pendekatan perundang undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach). Sumber data
yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan (libraryresearch) dan alat pengumpul data dilakukan dengan studi
dokumen, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dipahami bahwa Kewenangan hakim
dalam merampas aset perusahaan pada perkara tindak pidana penipuan dalam
Putusan Nomor 3096 K./Pid.Sus/2018 secara umum diatur dalam Pasal 39 KUHP,
Pasal 46, dan Pasal 194 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tetapi, perampasan aset perusahaan yang
dilakukan terhadap PT. First Travel merupakan bentuk pidana tambahan yang
*Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.
i
ii
diberikan pengadilan karena perkara tersebut masuk dalam kategori tindak pidana
korporasi (PT.First Travel). Sehingga hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 ayat (2)
huruf e UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Analisis hukum terhadap pertimbangan hakim memutus
pekara tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh Direktur PT. First Travel
dalam Putusan Nomor 3096 K./Pid.Sus/2018, bahwa perampasan aset tersebut
secara hukum mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e sebagai bentuk
pidana tambahan karena tindak pidana tersebut merupakan kategori tindak pidana
korporasi yang dilakukan oleh PT. First Travel. Secara umum, ketentuan KUHP
dan KUHAP yang mengatur dasar perampasan aset tersebut tidak terperinci secara
jelas, sehingga kewenangan hakim secara atributif diberikan langsung oleh UU
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang yang merupakan pidana tambahan bagi suatu korporasi yaitu PT.
First Travel. Kewenangan atributif perampasan aset ini hanya mutlak dimiliki
peradilan umum yang berada pada bawah Mahkamah Agung yang berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana dan perkara
lainnya. Perampasan aset oleh hakim dalam putusan nomor 3096 K./Pid.Sus/2018
dapat menjamin perlindungan hak Nasahab PT. First Travel sebagai korban
Tindak pidana penipuan jika dilihat berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 105/Pdt.Sus PKPU/2017/PN.Niaga.Jkt.Pst di mana PT. First Travel dihukum untuk
mengembalikan uang nasabah dan juga memberangkatkan para jamaah yang
masih ingin berangkat umrah. Putusan ini diberikan karena telah tercapai
kesepakatan perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tetap
oleh Pengadilan. Selain itu perlindungan yang diberikan kepada nasabah adalah
tealah dicabutnya izin Penyelenggaran Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) PT. First
Travel oleh Kementerian Agama Republik Indonsia melalui Keputusan Menteri
Agama (KMA) Nomor 589 Tahun 2017 01 Agustus 2017. Namun, dari aspek
pidana bagi para korban tidak memberikan perlindungan hukum karena harta
kekayaan PT. First Travel yang dirampas untuk negara sebagian milik para
korban.