Abstract:
Keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu menjadi syarat
mutlak bagi terciptanya budaya pengambilan kebijakan publik yang ramah dan
sensitif pada kepentingan perempuan. Tanpa keterwakilan perempuan dalam jumlah
yang memadai, kecenderungan untuk menempatkan kepentingan laki-laki sebagai
pusat dari pengambilan kebijakan sulit dibendung. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui pemenuhan hak konstitusional perempuan di Indonesia, pengaturan
keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu dan implikasi
konstitusionalitas keterwakilan perempuan yang tidak tercukupi dalam
penyelenggaraan pemilu.
Jenis dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif
dengan sifat penelitian deskriptif, yang menggunakan data hukum islam dan data
sekunder. Data diperoleh dengan cara menganalisis studi kepustakaan. Kemudian,
data diolah dengan menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemenuhan hak konstitusional
berupa hak politik perempuan di indonesia sudah diberikan sejak pemilu tahun 1999
sebagaimana negara indonesia telah secara formal mengatur keterlibatan perempuan
khususnya pada lembaga penyelenggara pemilu dalam undang-undang melalui
tindakan afirmatif keikutsertaan perempuan terbuka secara bebas dengan
memberikan kuota keterwakilan perempuan minimal 30%. Pengaturan keterwakilan
perempuan dalam penyelenggaraan pemilu di 2 (dua) badan ad hoc baik di tingkat
kpu maupun bawaslu tidak jauh berbeda yakni sama-sama berjumlah 30%
keterwakilan perempuan namun terhadap aturan hukumnya badan ad hoc di tingkat
kpu lebih detail mengaturnya. Implikasi konstitusionalitas keterwakilan perempuan
yang tidak tercukupi dalam penyelenggaraan pemilu masih belum merupakan
masalah besar bagi pihak penyelenggara pemilu khususnya di KPU Tapanuli Selatan.
Hal ini dikarenakan frasa perundang-undangan yang masih hanya memberikan
kalimat “memperhatikan” untuk komposisi pemenuhan keterwakilan 30%.