Abstract:
Pernikahan Sirri merupakan pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali
dan dua orang saksi yang adil, serta adanya ijab qabul namun pernikahan ini tidak
dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA). Banyak kelemahan dari
dilakukannya pernikahan sirri, salah satunya hak-hak terhadap anak. Anak hasil
pernikahan sirri tidak bisa mendapatkan hak waris, karena pernikahan orang tua
tidak tercatat di Pemerintahan. Namun, anak dari pernikahan sirri bisa
mendapatkan hibah harta dari orang tuanya.
Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mengetahui pemberian hibah
harta kepada anak hasil dari pernikahan sirri menurut hukum Islam, besaran porsi
hibah yang dapat diberikan kepada anak hasil pernikahan sirri dan status hukum
hibah dan putusan hakim yang diberikan kepada anak sirri dari pernikahan sirri
dalam putusan No.17/Pdt.G/2023?MS.Bna.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Hukum Islam, pemberian hibah harta
kepada anak hasil dari pernikahan sirri adalah sah. Hal ini dikarenakan pernikahan
sirri dimata agama adalah sebuah pernikahan yang sah dan anak hasil pernikahan
sirri adalah bagian dari nasab orang tua. Maka dari itu, berdasarkan nasab tersebut,
anak hasil pernikahan sirri berhak mendapatkan hak waris, hibah harta, hak untuk
dinikahkan apabila itu anak perempuan dan hak untuk nendapatkan bin atau binti
dari ayah. Besaran porsi dari hibah harta terhadap anak dari hasil pernikahan sirri
adalah yang bisa dihibahkan yakni hanya 1/3 dari harta yang dimiliki oleh pemberi
hibah harus merupakan harta pribadi dan bukan harta bersama. Jika harta bersama,
maka harus ada persetujuan dari pihak-pihak yang terkait. Pemberi hibah juga dapat
menghibahkan harta yang berupa harta benda seperti tanah, bangunan yang
langsung diatas namakan kepada anak. Berdasarkan hasil Putusan
N0.17/Pdt.G/2023/MS.Bna yang telah dijabarkan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa status hukum hibah harta pada perkara tersebut tidak sah atau mempunyai
kekuatan hukum. Hal ini dikarenakan, pemberian hibah harta telah melewati
besaran porsi yang telah ditetapkan dalam Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam yang menjelaskan bahwa besaran porsi hibah yang dapat diberikan adalah
1/3bagian dari harta pribadi yang dimiliki.. Selain itu, hibah harta yang diberikan
bukanlah murni harta pribadi dari Tergugat I, melainkan harta bersama (gono gini)
dari pernikahan sah dengan istri pertamanya dan saksi pemberian hibah juga
bukanlah keluarga inti dari tergugat I