Abstract:
Salah satu yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018
mengenai penegakan hukum formil dari tindak pidana terorisme adalah mengenai
penyadapan, sebagaimana diketahui penyadapan merupakan salah satu teknologi
baru yang diciptakan agar mempermudah untuk mencari titik terang suatu
kejahatan sistematik, salah satunya ialah tindak pidana terorisme Pasal 31 A
terdapat pengecualian melakukan penyadapan, apabila dalam keadaan mendesak
penyadapan dapat dilakukan sebelum adanya penetapan dari ketua pengadilan dan
kemudian 3 hari setelah itu wajib meminta penetapan kepada Ketua Pengadilan
Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan penyidik. Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2018 tidak menjelaskan secara detail maksud dari frasa “dalam keadaan
mendesak” di dalam bunyi pasal 31 A, hal ini dapat berpotensi terjadinya suatu
kebebasan penafsiran bagi penyidik, maka tidak ada kepastian hukum disini,
sebagaimana dijelaskan kepastian hukum merupakan saat kalimat hukum tidak
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui penyadapan oleh penyidik dalam penyidikan tindak pidana terorisme,
untuk mengetahui prosedur penyadapan dalam melaksanakan penegakan hukum
tindak pidana terorisme, untuk mengetahu hak asasi manusia terhadap pelaksanaan
penyadapan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
empiris, bersifat deskriptif dan menggunakan sumber data sekunder, data primer,
dan data Al-Islam, kemudian menggunakan studi dokumen dan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menyatakan penyadapan oleh penyidik dalam penyidikan
tindak pidana terorisme diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan
seperti: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Tindak Pidana Terorisme,
Perkap Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penyadapan Pada Pusat
Pemantauan Kepolisian Negera Ri. Dari beberapa aturan hukum tersebut belum ada
mekanisme penyadapan yang pasti maka dari itu dibutuhkan suatu regulasi yang
mengatur tata cara penyadapan. Prosedur penyadapan oleh penyidik dalam
melaksanakan penegakan hukum tindak pidana terorisme belum diatur secara
khusus dalam peraturan perundang-undangan, hingga saat ini masih belum ada
prosedur yang jelas yang diatur di dalam regulasi hukum di Indonesia. Pandangan
Ham Terhadap pelaksanaan penyadapan dalam penyidikan pada tindak pidana
terorisme dapat melanggar ham, maka dari itu penyadapan harus menerapkan
prinisp-prinsip hak asasi manusia antara lain: legality, legitimate aim, necessity,
proportionality, safeguards, illegitimate acces dan due proces. Kemudian
Komariah Emong Sapardjaja penyadapan bukan pelanggaran Ham yang non
derogable sehingga dapat dikurangi, kemudian dalam hukum pidana penyadapan
merupakan suatu tindakan dalam rangka pembuktian.