Abstract:
Istilah “Illegal Logging” sering digunakan untuk merujuk pada berbagai
kegiatan ilegal yang berpengaruh terhadap hutan dan masyarakat yang tergantung
padanya.Kegiatan hutan ilegal meliputi semua tindakan ilegal yang berhubungan
dengan ekosistem hutan yang berhubungan dengan hutan dan hasil hutan kayu
seperti pembalakan liar (illegal Logging). Dalam upaya penegakan hukum pada
tindak pidana illegal logging yang dilakukan oleh pejabat maka dapat diterapkan
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi apabila dapat dibuktikan
adanya unsur-unsur korupsi atau suap menyuap dan untuk tindak pidana illegal
logging yang dilakukan oleh pejabat, maka dapat diterapkan UU P3H apabila
unsur tindak pidana korupsi tidak dapat dibuktikan. Sedangkan untuk bahan
hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Setelah dilakukan penelitian ini, tindak pidana
illegal logging dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi apabila terdapat
unsur suap-menyuap yang ada di dalamnya. Namun, apabila pada tindak pidana
illegal logging tidak ditemukan adanya suap-menyuap atau korupsi maka untuk
penegakan hukumnya menggunakan Undang-undang Kehutanan.
Penelitian ini menggunakan jenis hukum sosiologis dengan pendekatan
Yuridis Empiris yang bertujuan menganalisis permasalahan yang terjadi dengan
cara memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dengan
data primer seperti data hasil wawancara langsung, yang diperoleh dari lapangan
yakni di Wilayah Hukum Polda Sumatera Utara.
Hasil Penelitian bahwa Bentuk tindak pidana korupsi dalam pembalakan
liar terdapat unsur suap-menyuap kepada Pejabat Kehutanan, yang mana unsur
suap-menyuap merupakan perbuatan yang sebagaimana diatur dalam Undang undang Tipikor. Penanganan tindak pidana korupsi pada pembalakan liar adalah
dengan melakukan pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana korupi yaitu
suap-menyuap, gratifikasi, dan juga penyalahgunaan wewenang. Hambatan
khususnya dalam menangani tindak pidana pembalakan liar yaitu kurangnya
koordinasi masyarakat dengan aparat penegak hukum daerah setempat.