Abstract:
Perkawinan paksa terjadi bukan atas dasar keinginan dari pihak-pihak di
dalamnya, namun perkawinan tersebut terjadi dikarenakan adanya paksaan yang
mana sudah seharusnya suatu perkawinan didasarkan atas suka sama suka dari
kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Dengan adanya Undang undang No.12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU
TPKS), maka pemaksaan perkawinan tersebut menjadi salah satu bentuk tindak
pidana kekerasan seksual dan diancam dengan sanksi pidana maupun
denda.berkaitan dengan adanya hak ijbar pada wali yang mana hak ijbar atau
memaksa dalam Islam ini dimaknai sebagai petunjuk, pembimbingan dan juga
arahan seorang wali terhadap anaknya agar menikah dengan pasangan yang sesuai
dan sederajat dengan anak. Berdasarkan hal tersebut perlu untuk mengetahui
bentuk kekerasan seksual dalam perspektif Undang-undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual dan Hukum Pidana Islam bentuk kekerasan seksual dalam
perspektif Hukum Pidana Islam dan akibat pemaksaan perkawinan dikaitkan
dengan kekerasan seksual dalam persepektif Undang-undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual dan Hukum Pidana Islam.
Penelitian ini adalan yuridis normatif dengan pendekatan komperatif
(comparative approach). Pendekatan ini dilakukan dengan membandingan sistem
hukum seperti, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Hukum
Pidana Islam. Berdasarkan hasil penelitian kawin paksa merupakan hal yang
cukup lazim didengar dan dapat ditemukan dibeberapa adat kebiasaan disuatu
daerah. Adapun kawin paksa sering kali diterapkan pada kasus-kasus tertentu
seperti menjadi korban pelecehan seksual, hamil diluar nikah, perjodohan dan lain
sebagainya. Perkawinan paksa berkaitan dengan adanya hak ijbar pada wali yang
mana hak ijbar atau memaksa dalam Islam ini dimaknai sebagai petunjuk,
pembimbingan dan juga arahan seorang wali terhadap anaknya agar menikah
dengan pasangan yang sesuai dan sederajat dengan anak perempuan itu.
Penerapan hak ijbar tidak bisa dilakukan sembarangan harus dengan konsisten
sesuai ketentuan fiqih yang harus dipastikan tidak ada pemaksaan bagi perempuan
dalam pekawinan, semua mazhab diatas sepakat akan kemerdekaan anak untuk
menetukan pasangan hidupnya sendiri, walupun dikalangan mazhab Syafi’i dan
ulama lain memberikan hak ijbar kepada ayah dan kakek namun syarat yang
ditentukan tidak ada unsur paksaan.
Orang tua wajib mencegah terjadinya perkawinan apabila dirasa
perkawinan tersebut justru akan mengakibatkan hal-hal negatif bagi calon
mempelai. Orang tua memikul tanggung jawab sepenuhnya atas segala akibat
negatif dari perkawinan anak-anaknya. Penting adanya UU TPKS salah satunya
adalah untuk melindungi khususnya perempuan dan anak-anak Indonesia, dan
juga menyelamatkan masa depan mereka, apalagi di era globalisasi yang sudah
serba canggih ini, banyak sekali rasanya jika masih berpikiran tradisional
mengenai perkawinan