Abstract:
Dihapusnya kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, tidak membawa dampak signifikan terhadap kemajuan sistem ketatanegaraan dan pembangunan di Indonesia, sehingga dalam berbagai kesempatan sosialisasi Empat Pilar Bernegara oleh MPR, disampaikan wacana untuk menghidupkan GBHN sebagai pedoman perencanaan pembangunan nasional, dan hal ini menarik diteliti yang bertujuan untuk mengetahui kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam perumusan kebijakan arah pembangunan nasional sebelum amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikaitkan dengan perumusan arah kebijakan nasional, dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam perumusan kebijakan arah pembangunan nasional demi mewujudkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis data sekunder yang terkait dengan kewenangan MPR dalam penetapan kebijakan rencana pembangunan nasional, maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, sedangkan sifatnya adalah deskriptif. Data yag dianalisis hanya data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier, sedangkan alat pengumpul datanya adalah studi dokumen, selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa MPR merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara dan pelaksana dari kedaulatan rakyat. Semua putusan MPR pada hakikatnya GBHN, tetapi UUD NRI Tahun 1945 (setelah perubahan) tidak lagi menempatkan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara dan pelaku yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ketetapan MPR masih menempati hierarki yang lebih tinggi dari pada undang-undang maupun peraturan presiden. Dari sisi kekuatan hukum, maka pengaturan ke dalam GBHN yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR jelas lebih kuat dari pada undang-undang maupun peraturan presiden. Mengingat arti penting GBHN sebagai platform atau blueprint dalam pelaksanaan pembangunan, dan guna menghindari tumpang tindih kebijakan antar kementerian atau kelembagaan pemerintahan, maka kewenangan menetapkan GBHN yang merupakan pernyataan keinginan rakyat sebagai acuan utama penyelenggara negara dalam mewujudkan cita-cita bangsa, harus dikembalikan kepada MPR, karena MPR merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Pilihan gagasan melalui revitalisasi GBHN harus dilakukan melalui perubahan atau amandemen UUD NRI Tahun 1945, terutama terkait dengan wewenang dan tugas MPR. Selain mengembalikan kewenangan menetapkan GBHN kepada MPR, maka hal penting yang diperlukan dalam membangun Indonesia adalah pengamalan Pancasila yang terbebas dari dogma dan simbol yang didoktrin selama Orde Baru.