Abstract:
Konsep dari penerapan pelaku yang bekerjasama( justice collaborator)
adalah kerjasamanya pelaku kejahatan yang bukan pelaku utama dengan penegak
hukum untuk meringkus pelaku utama, sehingga mampu membongkar tindak
pidana terorganisir. Maka dari itu salah satu syarat untuk menjadi justice
collaborator adalah pelaku bukan merupakan pelaku utama, karena jikalau pelaku
utama yang dijadikan justice collaborator untuk meringkus pelaku dibawahnya
maka pelaku utama dapat bebas dari jeratan hukum dan menjadi tidak jera untuk
dapat mengulangi perbuatannya. Ketentuan justice collaborator yang lebih
komprehensif justru terdapat dalam SEMA No 4 Tahun 2011. Sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No 4 tahun 2011 telah mengatur
salah satu alat bukti yakni alat bukti saksi. Dimana saksi dalam SEMA ini adalah
saksi pelaku yang bekerja sama. Definisi Justice Collaborator atau saksi pelaku
yang bekerja sama dalam SEMA No 4 tahun 2011 adalah yang bersangkutan
merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana yang dimaksud
dalam SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya. Pengaturan lebih lanjut
tentang justice collaborator dalam peraturan ini diatur juga yaitu pada Pasal 10A
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun ketentua
Justice Collaborator justru lebih komprehensi dalam Sema Nomor 4 Tahun 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pemberian justice
collaborator, kelemagan dalam regulasinya dan tinjauan yuridis atas larangan
justice collaborator.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif
yang bersifat deskriptif dan menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, sekunder dan tersebut. Alat pengumpul data yang digunakan
studi dokumen, dan menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menyatakan Mekanisme Pemberian Justice Collaborator
bagi pelaku tindak pidana Harus melalui beberapa pertimbangan antara lain seperti:
sadar akan kesalahan yang telah diperbuat dan mengakuinya, kemudian kedudukan
dalam tindak pidana bukanlah sebagai pelaku utama, Kelemahan dalam regulasi
terhadap pemberian status Justice Collaborator bagi tersangka dapat ditemukan
beberapa kelemahan yang terjadi antara lain: perihal mengajukan permohonan
justice collaborator masih terdapat perbedaan pendapat seperti jika tersangka
ditahan oleh KPK apakah permohonan diajukan kepada KPK atau LPSK atau
kepada keduanya, Tinjauan yuridis atas larangan Justice Collabolator bagi pelaku
utama (Analisis Sema No.4 tahun 2011) ditemukan permasalahan yuridis dalam
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 adalah dimana terdapat satu pasal yang memiliki
kerancuan dalam penafisirannya, yakni mengenai frasa pelaku utama.