Abstract:
Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK merupakan salah satu jenis
Perselisihan Hubungan Industrial. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu
perusahaan di Semarang yaitu PT. Richtex Garmindo beralamat di Jalan Tambak
Aji No.1, Ngaliyan, Kota Semarang, telah melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja yang telah terjalin sejak 4 Juli 1992 sampai dengan tanggal 29 Oktober
2008 (± 16 tahun lamanya) yang disebabkan karena peristiwa kebakaran di
pabrik yang menghanguskan sebagian bangunan dan aset milik PT. Richtex
Garmindo. Penelitian ini untuk mengetahui mekanisme PHK akibat perusahaan
terbakar menurut hukum positif di Indonesia, pemutusan hubungan kerja akibat
dari perusahaan terbakar dalam Putusan No. 726 k/Pdt.sus-PHI/G/2015, serta
analisis hakim dalam mengadili pemutusan hubungan kerja akibat perusahaan
terbakar.
Metode penetian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan
data sekunder yang diperoleh secara studi kepustakaan (library research).
Kemudian, data diolah dengan menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Mekanisme pemutusan
hubungan kerja (PHK) akibat kebakaran perusahaan di Indonesia diatur dalam
Pasal 164 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Meskipun PHK akibat perusahaan terbakar sah secara hukum
berdasarkan Pasal 164 ayat (1), dalam Putusan No. 726 K/Pdt.Sus-PHI/G/2015,
pemutusan hubungan kerja semacam ini cenderung menguntungkan perusahaan
daripada pekerja. Pekerja tidak mendapatkan hak-haknya seperti uang pesangon
karena dianggap sebagai force majeure. Dalam beberapa kasus, perusahaan
menggunakan alasan kebakaran untuk menghindari memberikan pesangon kepada
pekerja yang telah lama bekerja, yang pada akhirnya merugikan pekerja dan
keluarganya. Meskipun putusan mengabulkan upaya hukum perusahaan terkait
daluwarsa, interpretasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-X/2012 perlu
dievaluasi. Peninjauan ulang ini diperlukan untuk menghindari pembatalan hak hak pekerja yang telah diakui oleh Pengadilan Negeri Semarang. Pandangan
Mahkamah Agung tentang daluwarsa juga perlu dikaji ulang dengan
mempertimbangkan interpretasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU X/2012 agar penerapan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan lebih jelas dalam kasus
perselisihan hubungan industrial akibat keadaan memaksa.