Abstract:
Pengaturan hukum perlindungan terhadap korban perihal kasus pemalsuan
surat diimplementasikan dengan landasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014.
Perlindungan lain yang dapat diberikan kepada saksi dan korban dalam suatu proses
Peradilan Pidana yaitu: memberikan pernyataan tanpa hadir langsung di pengadilan
tempat perkara tersebut diperiksa, setelah ada izin dari hakim terdapat dalam Pasal 9
ayat 1 bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang dan telah diberikannya.
Penelitian ini mengkaji mengenai perlindungan hukum kepada korban tindak
pidana pemalsuan surat di Polres Sibolga kota. Metode penelitian yang digunakan
ialah spesifikasi penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis sosiologis
untuk meninjau penerapan dan pelaksanaan hukum positif dalam perlindungan
korban yaitu Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, KUHAP, dan KUHP. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan
dibantu dengan wawancara mengenai beberapa informasi sebagai pelengkap,
kemudian dilakukannya analisis deskriptif analitis untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan data yang diperoleh.
Bentuk perlindungan terhadap korban dalam kasus pemalsuan surat dilakukan
melalui model Restorative Justice yaitu menyelesaikan masalah dengan cara sepakat
maupun musyawarah antara pelaku dan korban. Adanya model procedural rights,
penekanan diberikan pada korban untuk memainkan peranannya dalam proses
peradilan sedangkan model pelayanan ialah bentuk dari perlindungan terhadap korban
melalui pelayanan atau bantuan menyeluruh seperti pemberian kompensasi
rehabilitasi dan ganti rugi. Penerapan perlindungan terhadap korban dalam kasus
pemalsuan surat secara khusus telah dilakukan oleh Polres Sibolga kota. Namun
apabila korban merasa tidak mendapat haknya maka akan dialihkan ke LPSK dan
kepolisian dalam hal ini Polres Sibolga kota hanya dapat menjamin terjaminnya
pelaksanaan proses penegakan hukum dengan baik, ketentuan tersebut menjadi
hambatan dalam perlindungan korban dalam kasus pemalsuan surat