Abstract:
Salah satu uji materi yang diterima MK yaitu gugatan dengan nomor
perkara 100/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Effendi Ghazali. Gugatan inilah
yang nantinya melahirkan Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang
mengakomodir pilkada dengan hanya ada pasangan calon tunggal. Apabila
diringkaskan, pokok argumentasi permohonan pemohon berpusat pada masalah
terganggunya atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dijadwalkan disebabkan oleh adanya
ketentuan dalam norma Undang-undang yang dimohonkan pengujian yang
mempersyaratkan paling sedikit dua pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan calon
tunggal dalam undang undang pemilihan kepala daerah, untuk mengetahui fungsi
partai politik dalam melahirkan calon kepala daerah, dan untuk mengetahui
konstitusionalitas calon tunggal kepala daerah dalam prinsip negara demokrasi
konstitusionalitas.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan
pendekatan hukum yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang
mengolah data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa 1) Pengaturan calon tunggal
dalam undang-undang pemilihan kepala daerah pertama kali diatur lewat Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XIII/2015 yang kemudian diadopsi dalam
mekanisme pelaksanaan pilkada dengan satu pasangan calon di Pasal 54C UU No.
10 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota. Langkah ini merupakan upaya untuk menjaga
proses demokrasi tetap berjalan sesuai amanah Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.
2) Fungsi partai politik dalam melahirkan calon kepala daerah memiliki kontribusi
yang besar dalam fenomena pasangan calon tunggal di pilkada karena praktek
politik yang dijalankannya. Sebagai pihak pengusung pasangan calon, praktek
politik yang dilaksanakan oleh partai antara lain koalisi besar partai yang
mengusung satu pasangan calon tertentu, serta produk hukum yang dipengaruhi
oleh kepentingan partai seperti Pasal 41 UU No. 10 Tahun 2016 yang mengatur
persyaratan calon independen. 3) Konstitusionalitas calon tunggal kepala daerah
dalam prinsip negara demokrasi telah diakui dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia, khususnya UU No. 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua UU No. 1 Tahun 2015 atau UU Pilkada.