Abstract:
Hasil penelitian, Pertama. Pengaturan Pasal 109 ayat (1) KUHAP sebelum
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015 tidak adanya
kewajiban penyidik untuk memberitahukan SPDP kepada korban/pelapor, dan
tidak memberikan pengaturan teknis mengenai berapa lama SPDP sampai kepada
terlapor/tersangka atas dugaan tindak pidana. Tidak disampaikannya SPDP oleh
penyidik kepada korban/pelapor, dan terlapor/tersangka menimbulkan
ketidakpastian hukum, juga merugikan hak konstitusional terlapor/tersangka dan
korban/pelapor. Kedua. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
130/PUU-XIII/2015 memberikan pelaksanaan pemberian SPDP dimana penyidik
wajib memberikan SPDP kepada penuntut umum, terlapor/tersangka, dan
pelapor/korban dengan diberikan limitatif waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah diterbitkan surat perintah penyidikan. Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut merupakan penguatan asas yang terdapat pada KUHAP dalam sistem
peradilan pidana. Ketiga. Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tarutung No.
6/Pid.Pra/2020/PN Trt, terkait dengan penetapan status tersangka oleh penyidik.
Berdasarkan putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tarutung tersebut, SPDP
merupakan rangkaian atau bagian proses yang masih dalam tahap penyidikan.
Oleh karenanya bila mana terjadi penetapan tersangka yang tidak didahului
penyampaian SPDP kepada para pihak, maka merupakan suatu tindakan cacat
prosedur/cacat formil dalam menerapkan hukum.