Abstract:
Kesimpulan dari pembahasan adalah pengisian jabatan Pelaksana Tugas
Kepala Daerah diatur dalam Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tugas dan kewenangan Kepala Daerah
dilengkapi dengan kewajiban yang harus dijalankan oleh Kepala Daerah
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Tugas dan kewenangan tersebut tidak dapat
dilaksanakan apabila Kepala Daerah sedang menjalani masa tahanan atau
berhalangan sementara sehingga dapat dipahami bahwa tugas dan kewenangan
yang diperoleh Kepala Daerah sangat menentukan jalannya penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dengan baik. Batasan kewenangan Pelaksana Tugas dalam
melaksanakan tugasnya selaku Kepala Daerah bersumber dari kewenangan
mandat, dimana kewenangan Plt Kepala Daerah hanya sebatas menjalankan
kewenangan berupa kebijakan yang sudah ditetapkan oleh Kepala Daerah
defenitif dalam Pemerintahan Daerah karena kedudukannya hanya sebagai pejabat
sementara yang menggantikan kekosongan Kepala Daerah. Plt Kepala Daerah
tidak memiliki kewenangan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan
yang memiliki dampak hukum terhadap organisasi Pemerintahan Daerah,
kepegawaian, perijinan, alokasi anggaran, serta kebijakan strategis lainnya
sebelum berkoordinasi dan memperoleh persetujuan tertulis dari Mendagri
sebagai pejabat yang mengangkat Plt Kepala Daerah. Efektivitas jabatan
Pelaksana Tugas dalam penyelenggaraan pemerintah tidak akan berjalan
maksimal atau tidak efektif karena terdapat keterbatasan yang melekat pada
pejabat pengganti seperti pelaksana tugas (Plt) yang tertuang dalam perundang undangan. Ketidakefektifan juga disebabkan akan terjadi rangkap jabatan, dimana
rangkap Jabatan bagi pegawai atau pejabat negara tidak diperbolehkan oleh
perundang-undangan sehingga lebih baik menunjuk pejabat pengganti
mutlak,sehingga tidak terjadi tumpang tindih tugas, tanggungjawab dan
wewenang