Abstract:
Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor 41/PID /2017/PT BJM
terkait pemerkosaan secara bersama-sama dengan berulangkali yang diputuskan
bebas merupakan putusan yang perlu dilakukan kajian mendalam, sebab pada
tingkat pertama diputuskan dengan putusan 8 (delapan) tahun penjara. Telah
terjadi perbedaan putusan pada tingkat pertama dan banding. Tingkat pertama
merupakan putusan pemidanaan sedangkan putusan banding merupakan putusan
bebas. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaturan hukum terhadap tindak
pidana pemerkosaan yang dilakukan secara bersama-sama dengan berulangkali
dan mengkaji faktor terjadinya pemerkosaan yang dilakukan secara bersama-sama
dengan berulangkali serta mengkaji putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin
Nomor 41/Pid/2017/PT.Bjm.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian normatif, penelitian yang
menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan
permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data
kewahyuan dan data skunder dengan alat pengumpulan data yaitu studi
kepustakaan (Library Research), dan analisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa pengaturan hukum tentang
tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan secara bersama dengan berulangkali
adalah Pasal 285 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal
289 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Hal ini sesuai dengan
dakwaan alternatif yang diajukan jaksa penuntut umum. Faktor terjadina
pemerkosaan yang dilakukan secara bersama-sama dengan berulangkali yang
terdapat dalam putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor
41/Pid/2017/PT.Bjm dilatarbelakangi faktor kurangnya Iman seseorang, faktor
Pendidikan, dan faktor Alkohol. Analisis putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin
Nomor 41/Pid/2017/PT.Bjm adalah Hakim tingkat pertama tidak teliliti atau
bahkan keliru dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pemerkosaan
secara bersama dengan berulangkali. Seharusnya, Hakim tingkat pertama teliti
melihat alat bukti dan yakin bahwa seseorang yang dituduh bersalah di hadapan
persidangan itu benar-benar melakukan tindak pidana sebagaimana hal ini diatur
dalam Pasal 183 KUHAP. Sebab, saksi yang menyampaikan adanya perbuatan
tersebut hanya saksi korban, sedangkan saksi suami si istri tidak sah menjadi saksi
sesuai KUHAP. Lalu saksi Mahkota berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 429 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung
lainnya.