Abstract:
Indonesia adalah lintasan jalur pelayaran penghubung Samudera pasifik
dengan Samudera Hindia, dan Benua Asia dengan Benua Australia, untuk
kepentingan perdagangan sumberdaya alam hayati dan non-hayati. Mengingat
penting dan strategisnya letak kawasan laut Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang kaya akan sumber daya alam hayati dan non hayati, maka keberadaan
Pemerintah mempunyai kuasa penting dalam mengatur Kapal yang layak dan
tidak layak untuk berlaya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Melayarkan kapal tanpa surat izin berlayar dalam Undang-undang pelayaran
merupakan sesuatu yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan kapal
juga merugikan Negara. Berdasarkan hal-hal tersebut maka disusunlah Undang undang tentang Pelayaran baru yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 yang
merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992, sehingga
penyelenggaraan pelayaran sebagai sebuah sistem dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara.
Untuk membahas permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian
hukum kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yang diambil dengan cara
memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dengan data
primer yang diperoleh secara langsung.
Berdasarkan hasil penelitian penerapan hukum pidana materiil oleh
penuntut umum dalam putusan No. 78/Pid/2020/PT. GTO menggunakan surat
dakwaan kumulatif karena terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang
dimana masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri dan harus di
buktikan satu demi satu. Pertimbangan Hakim dalam perkara pidana pelayaran ini
telah sesuai dikarenakan terdakwa sudah melanggar ketentuan hukum dimana
terdakwa sebagai nahkoda kapal KMN. Inter Harapan berlayar di perairan Bone
dengan tidak dilengkapi dokumen Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan
oleh syahbandar. Upaya preventif dan upaya represif dalam menanggulangi tindak
pidana pelayaran ini tidak hanya dilakukan oleh aparat penegak hukum tetapi
bagian yang bertugas dalam proses awal sebuah kapal ingin berlayar sampai kapal
selesai berlayar. Kendala yang menjadi utama pada kasus tindak pidana pelayaran
ini adalah kurangnya kesadaran pemilik kapal atau nahkoda kapal akan hukum
yang berlaku, keterbatasannya sarana dan prasarana, dan kasus yang sedikit
sampai pada tingkat persidangan.