Abstract:
Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial semakin marak
terjadi seiring berkembangnya teknologi. Penyelesaian tindak pidana pencemaran
nama baik yang dilakukan lembaga peradilan dirasa terlalu formalistik dan kaku,
serta kurang dapat memberi rasa adil bagi para pihak. Keadilan restoratif menjadi
pendekatan alternatif dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencemaran nama
baik melalui media sosial di luar peradilan konvensional. Berdasarkan hal tersebut
penelitian ini bertujuan mengetahui pengaturan hukum, pelaksanaan, serta
hambatan dalam penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak
pidana pencemaran nama baik melalui media sosial di Polda Sumut.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis
empiris. Penelitian yuridis empiris merupakan jenis penelitian yang bertujuan
menganalisis permasalahan dan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan
hukum. Sumber data pada penelitian ini berdasarkan data sekunder dan data
primer yang diperoleh dari lapangan dengan melakukan wawancara.
Berdasarkan hasil penelitian, Surat Edaran Nomor: SE/8/VII/2018 menjadi
pedoman pengaturan hukum dalam penyelesaian perkara pencemaran nama baik
melalui media sosial. Proses pelaksanaannya yaitu: 1) masuknya perkara, 2)
setelah menerima permohonan perdamaian antar pihak, dilakukan pemeriksaan
administrasi syarat formil, 3) permohonan perdamaian diajukan, 4) penetapan
jadwal untuk menandatangani pernyataan perdamaian, 5) semua pihak
menandatangani perjanjian kesepakatan, 6) membuat nota dinas permohonan
pelaksanaan gelar perkara, 7) penyusunan kelengkapan administrasi, dokumen
dan laporan hasil gelar perkara, 8) dikeluarkan surat perintah dan surat ketetapan
penghentian penyelidikan/penyidikan dengan alasan keadilan restoratif yang
ditandatangani oleh Direktur Reskrim Polda, 9) dicatat pada buku register baru B 19 sebagai penyelesaian perkara dengan restoratif. Pada penyelesaiannya terdapat
hambatan yaitu keadilan restoratif tidak memiliki pengaturan yang jelas dan
menghambat kepolisian ketika menerapkannya. Surat Edaran Kapolri dan
yurisprudensi yang mengatur tentang keadilan restoratif, menjadi landasan hukum
di luar undang-undang bagi aparat penegak hukum untuk mengisi kekosongan
hukum. Hambatan lain yaitu pihak korban sulit diedukasi karena lebih memilih
langsung membuat laporan dan berfokus pada emosi mereka. Dalam upaya
mengatasi hambatan tersebut, Polda Sumut melakukan sosialisasi/edukasi agar
memahami tujuan dan tahapan keadilan restoratif.