Abstract:
Orang yang terganggu jiwa/ingatannya dapat memberikan hak pilih dalam pemilihan umum (pemilu) tahun 2019 ini menjadi topik perbincangan di tengah masyarakat. Penolakan tersebut dikarenakan tidak mendapatkan informasi yang utuh bagaimana sebenarnya orang yang terganggu jiwa/ingatan yang dibolehkan memilih dalam pemilu. Kesalahpahaman masyarakat menanggapi hal ini, membuat penulis tertarik menelitinya, guna untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum hak pilih penyandang disabilitas mental dalam pemilu, bagaimana penggolongan penyandang disabilitas mental dalam menggunakan hak pilih pada pemilu, dan untuk mengetahui bagaimana analisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XIII/2015. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, sifat penelitian deskriftif yang menggunakan sumber data sekunder yaitu terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier serta pengumpulan data melalui studi kepustakaan yang dituangkan dalam bentuk analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pengaturan hukum hak pilih penyandang disabilitas mental dalam pemilu diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Penyusunan Daftar Pemilih Di Dalam Negeri Dalam Penyelenggara Pemilihan Umum, kemudian diubah dengan PKPU 37 Tahun 2018, yang menghapuskan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf b dan Pasal 4 ayat 3 dengan tujuan mengikuti putusan MK. Disabilitas mental yang tidak memiliki hak pilih dalam pemilu adalah mereka yang termasuk orang dengan gangguan jiwa/ingatan yang permanen. Adapun analisis Putusan MK Nomor 135/PUUXIII/2015 yaitu berdasarkan pertimbangan MK bahwasanya rumusan pada Pasal 57 ayat (3) huruf a, telah menyamakan konsekuensi bagi semua kategori penderita gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan sehingga amar putusannya menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.