Abstract:
Penyelesaian perkara tindak pidana umum dengan menggunakan sarana penal (litigasi) terkadang menyisakan kekecewaan bagi para pencari keadilan yang menggantungkan harapan pada aparatur penegak hukum yang terbingkai dalam Crime Justice System (CJS). Ketentuan hukum menetapkan bahwa kecuali dalam hal penghentian penyidikan karena alasan yuridis (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/SP3), maka setiap perkara yang ditangani polisi harus diproses sesuai ketentuan hukum, yakni ke pengadilan melalui penuntut umum. Politik penegakan hukum yang demikian menempatkan Polri sebagai wadah yang di satu pihak harus menampung semua fenomena sosial yang disebut kejahatan atau pelanggaran hukum dan juga harus memprosesnya secara sempurna sebelum dilimpahkan ke pengadilan. Pelaksanaan kewenangan penyidikan seperti ini mengakibatkan kelambatan proses penyelesaian perkara. Kondisi demikian sudah tentu tidak sejalan dengan prinsip Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang sederhana, cepat dan murah. Kebijakan demikian juga lebih bersifat sektoral daripada pendekatan yang terpadu (integrated criminal justice system). Padahal pendekatan terpadu harus menjamin adanya checks and balances yang lebih maju lagi dari yang diterapkan dalam KUHAP sekarang ini. Konsekuensi dari kondisi tersebut tercermin dari banyaknya keluhaan atau pengaduan warga kepada Ombudsman yang terkait dengan permasalahan penundaan pemeriksaan perkara yang berlarutlarut. Penerapan kebijakan kriminal (criminal policy) dengan konsep mediasi dalam penyidikan kasus (tindak) pidana umum (penipuan dan penggelapan), merupakan sebahagian dari model pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana, yang prinsip dasarnya adalah melibatkan para pihak untuk mengambil keputusan terbaik bagi mereka. Keputusan itu tidak diambil secara sepihak, baik oleh korban ataupun pelakunya, melainkan secara bersamasama di hadapan aparat penyidik. Masing-masing pihak (pelaku dan korban) mempunyai posisi yang sama, maksudnya bahwa pelakunya tidak dianggap atau diposisikan sebagai orang yang semata-mata bersalah atas suatu tindak pidana, tetapi lebih ditekankan pada posisi sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita korban, dan sebaliknya korban juga diberi kesempatan untuk terlibat atau berpartisipasi langsung dalam menyelesaikan kasus tindak pidana yang menimpa dirinya. Penyelesaian tindak pidana umum (penipuan dan penggelapn) melalui kebijakan kriminal (criminal policy) dengan konsep mediasi, hanya didasarkan pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 18 ayat 1 dan 2 UU Nomor 2 Tahun 2002, sehingga secara substansial dari aturan hukum yang berlaku masih terdapat hambatan signifikan dan permasalahan pokok tersebut sebenarnya karena tidak ada satupun ketentuan yang memberikan batasan tegas tentang penerapan kewenangan diskresi kepolisian, sehingga tindakan diversi dalam menyelesaikan tindak pidana umum (penipuan dan penggelapn) melalui kebijakan kriminal (criminal policy) dengan konsep mediasi tidak ada payung hukum yang jelas,
v
dengan kata lain belum dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum namun landasan hukum bagi wewenang Polri berdasarkan asas kewajiban hanya diperoleh dari Arrest Hoge Raad, tanggal 19 Maret 1917, yang menetapkan bahwa suatu dapat dianggap “rechmaatig” (sah sesuai dengan hukum) sekalipun tanpa pemberian kuasa secara khusus oleh undang-undang asalkan berdasarkan kewajiban menurut undang-undang walaupun secara yuridis tidak ada aturan hukum yang tegas untuk melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) dengan konsep mediasi dalam penegakan hukum pidana, tetapi ada beberapa kebijakan pada institusi Polri, yang dapat dijadikan pedoman awal, yaitu: 1. Pasal 51 ayat 1 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2. Pasal 2 huruf b Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat, 3. Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor POL.: 395/DIT.I/VI/ 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang Penanganan Anak Berhadapan Hukum,4. Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor POL.: TR/1124/XI/ 2006, tanggal 16 Nopember 2006 tentang Pedoman Penanganan dan Perlakuan terhadap Anak Berhadapan Hukum, 5. Surat Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor : B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR), 6. Telegram Kabareskrim Kepolisian Republik Indonesia Nomor: STR/583/VIII/ 2012, tanggal 8 Agustus 2012 tentang Penerapan Restorative Justice, 7. Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: B/2160/IX/2009/ BARESKRIM tanggal 3 September 2009 tentang Pedoman Penanganan Anak Berhadapan Hukum, 8. Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: STR/29/I/2011 tanggal 11 Januari 2011 tentang Sosialisasi Surat Keputusan Bersama tentang Perlindungan Anak dan Rehabilitasi Anak Berhadapan Hukum, 9. Surat Kabagreskrim Kepolisian Republik Indonesia Nomor Pol.: ST/110/V/ 2011, tanggal 18 Mei 2011 tentang Penyelesaian Perkara di luar Pengadilan, 10. Surat Nota Kesepahaman Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, serta Kapolri Nomor: 131/KMA/SKB/ X/2012, Nomor: M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor: KEP-06/E/EJP/ 10/2012, dan Nomor: B/39/X/2012, yang isinya antara lain menentukan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui keadilan restoratif dapat dilakukan dengan ketentuan telah dilaksanakan perdamaian antara pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat terkait yang berperkara dengan atau tanpa ganti kerugian.