Abstract:
Meningkatnya jumlah penduduk secara tidak langsung mengakibatkan
kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Maka kebutuhan pembangunan juga
untuk pemukiman dan kebutuhan tanah kepentingan lain dan saat itu tanah yang
tersedia jumlahnya mulai terasa sangat terbatas terbatas. Kondisi ini dapat memicu
meningkatnya konflik/Sengketa pertanahan seperti penguasaan tanah tanpa hak,
penggarapan tanah liar, dan tumpang tindihnya penggunaan lahan. Terjadi krisis
jika di atas tanah tersebut telah ada (re)klaim dan penggarapan oleh masyarakat
sehingga menimbulkan sengketa. Sehingga dirasa perlu diketahui bagaimana
perlindungan hukum yang di dapatkan oleh petani penggarap tanah garapan HGU
yang telah berakhir masa berlakunya. Suatu krisis yang menggambarkan kondisi
kebutuhan masyarakat akan tanah dan kronisnya ketidak-adilan agraria di wilayah
tersebut. Kenyataan di atas menjadi gambaran dari yang terjadi, di tanah bekas
HGU PTPN II dengan sekitar 5.873,06 Ha
Penelian ini merupakan jenis penelitian hukum dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif yang di dukung oleh data primer, adapaun yang
dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan
dengan berdasarkan bahan-bahan yang diambil dari literatur seperti jurnal,
Undang-Undang, dan karya tulis lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan di dukung oleh
data primer bahwa tidak ada dasar hukum yang pasti menjamin memberikan
perlindungan hak atas tanah kepada lahan 26 Ha yang dikuasai oleh petani desa
Sigara-Gara II, juga UU Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal
Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat yang awalnya dirasa dapat
menyelesaikan semua tuntutan hak kelak hanya menjadi janji-janji yang tidak
dapat dipenuhi, ditambah lagi status hak atas tanah yang sudah diberhentikan
perpanjangan HGU nya berdasarkan SK BPN RI Nomor 42, 43, dan 44 / HGU/
BPN/2002. dan SK No. 10/HGU/BPN/2004 tidak memiliki kejelasan karena
BUMN yang dalam hal ini selaku menteri yang berwenang memberikan izin
pelepasan aset, belum juga melakukan pelepasan aset yang pada akhirnya sampai
saat ini tidak menemukan kejelasan dalam upaya menyelesiakan konflik agraria