Abstract:
Regulasi yang ada mengenai ekspresi publik tidak memberikan batasan
yang jelas sehingga menimbulkan multitafsir bagi para opinion organizer dan aparat
keamanan setempat. Maka, dengan terbitnya SK Kapolri Nomor 7 Tahun 2012,
Polri mulai memberikan pelayanan ekspresi publik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran opini publik, tata cara penanganan
kasus pelanggaran opini publik oleh kepolisian berdasarkan PerKap No. 7 Tahun
2012, hambatan dalam pertimbangan kasus pelanggaran opini publik oleh
kepolisian berdasarkan PerKap. Nomor 7. 2012.2012.
Metode penelitian ini menggunakan penelitian regulasi dengan data
sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data tersebut kemudian diolah
dengan menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa bentuk-bentuk pelanggaran
ekspresi opini publik terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu bentuk pelanggaran
ekspresi publik berupa delik administratif dan bentuk pelanggaran. pengungkapan
pendapat masyarakat dalam bentuk pelanggaran hukum, seperti pemblokiran,
penghentian kendaraan, pembakaran ban bekas, penyisiran, perusakan fasilitas
umum, penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak pada sasaran/objek
demonstrasi. Tata cara pemeriksaan kasus pelanggaran representasi opini publik
oleh polisi berdasarkan PerKap Nomor 7 Tahun 2012 dilakukan dalam 3 tahap,
antara lain tahap sebelum demonstrasi, tahap kedua saat demonstrasi dan tahap
ketiga yaitu : seusai demonstrasi, pada saat aparat kepolisian melakukan kegiatan
pemulihan situasi di tempat demonstrasi. Hambatan dalam penanganan kasus yang
melibatkan pengungkapan opini publik oleh polisi terkendala oleh kurangnya
koordinasi antara opinion leader dan polisi setempat, adanya provokator yang
menyusup ke massa, kerusuhan yang direncanakan, kurangnya perwakilan yang
mau menanggapi dan berbicara. untuk massa, dan kurangnya komposisi pribadi dan
peralatan bantu dalam pelaksanaan keselamatan.