Abstract:
Tindak pidana penganiayaan terhadap anak merupakan tindak pidana
kejahatan yang tidak ada henti-hentinya, selalu terjadi dan berkembang di tengahtengah
masyarakat sepanjang masyarakat itu terus mengadakan interaksi sosial
satu dengan yang lainnya. Dewasa ini, banyak sekali kasus-kasus yang terjadi
yang melibatkan anak sebagai korbannya. Misalnya kasus penganiayaan terhadap
anak yang dilakukan oleh anak dalam situasi konflik sosial. Permasalahan dalam
skripsi ini adalah bagaimana bentuk tindak pidana yang terjadi dalam situasi
konflik sosial, bagaimana tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam situasi
konflik sosial, bagaimana sanksi terhadap anak yang melakukan penganiayaan
dalam situasi konflik sosial.
Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab permasalahan di
atas merupakan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu penilitian yang secara
deduktif dimulai dengan analisis pasal-pasal dalam peraturan perundangundangan
yang mengatur permasalahan skripsi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa
tindak pidana penganiayaan merupakan tindak pidana kejahatan berupa perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada
tubuh orang lain. Tindak pidana penganiayaan merupakan tindak pidana
kekerasan yang paling sering terjadi terhadap anak yang dilakukan oleh anak
dalam situasi konflik sosial, sanksi yang diberikan terhadap anak yang melakukan
penganiayaan dalam situasi konflik sosial sendiri termasuk dalam katagori
penganiayaan anak yang pengaturannya diataur dalam Pasal 76C dan sanksi bagi
orang yang melanggar ditentukan dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Namun terlepas dari hal tersebut Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
(terdiri dari anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana) di Indonesia. Mengenai
sanksi yang diberikan haruslah sesuai dengan UU SPPA terhadap penyelesaian
perkara tindak pidana anak melalui proses diversi yang wajib diupayakan. Apabila
diberikan sanksi berupa perampasan kemerdekaan, hal ini merupakan upaya
terakhir (ultimum remedium) bilamana upaya lain tidak berhasil.