Abstract:
Rehabilitasi penyalahguna Narkotika yang dilakukan oleh Polri khususnya
Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara pada dasarnya ditujukan untuk
memutus mata rantai peredaran gelap Narkotika yang terjadi di wilayah hukum
Polda Sumatera Utara, namun dalam penerapannya belum efektif sehingga
diperlukan reorientasi sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana
Narkotika. Arti pentingnya reorinetasi sistem pemidanaan dalam kerangka
pertanggungjawaban pelaku adalah melakukan tindakan secara efektif terhadap
pelaku sebagai korban kejahatan peredaran gelap Narkotika secara komprehensif
akibat pengaruh lingkungan sosial. Adapun permasalahan yang dikemukakan
terkait penerapan rehabilitasi, hambatan dan upaya yang dilakukan untuk
mengatasi hambatan dalam penerapan rehabilitasi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini terdiri dari
spesifikasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder yang
penekanannya pada teoritis dan analisis kualitatif
Permasalahan yang muncul dalam pengimplementasian kewajiban
rehabilitasi oleh Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara terhadap pecandu dan
korban penyalahgunaan Narkotika sebagaimana di atur pada Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah sinergitas antar kelembagaan
dengan terjadinya perbedaan persepsi antar instansi terkait dalam penanganan
penyalahguna narkotika Penyidik kepolisian dalam penanganan tindak pidana
Narkotika melakukan kualifikasi pelaku sebagai pengedar maupun pelaku sebagai
penyalahguna Narkotika yang didasarkan pada mekanisme penyidikan sampai
dengan pemberkasan perkara. Penyidik mengkontrusikan kasus penyalahguna
Narkotika kedalam pasal rehabilitasi, berdasarkan persyaratan yang diamanatkan
dalam ketentuan-ketentuan terkait rehabilitas yaitu dari banyaknya barang bukti,
dilakukan asesmen oleh tim TAT yang dibentuk BNN, namun ketika vonis
pengadilan tidak dihukum menjalani rehabilitasi melainkan hukum penjara.
Ditingkat penyidikan Kepolisian, penyidik tidak pernah atau tidak berani
menerapkan Pasal 127 ayat (1) tunggal dengan alasan antara lain Kepolisian
Daerah Sumatera Utara pernah mencoba membuat 1 (satu) studi kasus hanya
menerapkan Pasal 127 ayat (1) tunggal, akan tetapi setelah berkas perkara selesai
disidik oleh Penyidik Kepolisian dan dikirimkan kepada JPU, ternyata berkas
perkara dikembalikan dengan petunjuk agar dicantumkan Pasal 112 ayat (1)