Abstract:
Penyampaian pendapat yang disuarakan di muka umum terhadap pejabat
pemerintah haruslah sesuai dengan etika dan sopan santun yang tidak mencederai
hak orang lain yang merupakan subjek pribadi. Sebab penyampaian pendapat
yang menyinggung hak pribadi seseorang termasuk dalam perbuatan pidana yang
menyerang kehormatan orang lain atau dapat juga disebut sebagai perbuatan
tindak pidana pencemaran nama baik.
Metode penetian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan
pendekatan perundang-undangan, dengan sifat yang digunakan adalah deskriptif,
dengan menggunakan data kewahyuan dari al-quran/hadits dan data sekunder.
Kemudian, data diolah dengan menggunakan analisis kualitatif. Penelitian ini
untuk mengetahui pengaturan hukum tentang pencemaran nama baik terhadap
pejabat pemerintah yang dilakukan dalam demonstrasi mengatasnamakan
lembaga, modus pencemaran nama baik terhadap pejabat pemerintah yang
dilakukan dalam demonstrasi mengatasnamakan lembaga, serta
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pencemaran nama baik terhadap pejabat
pemerintah yang dilakukan dalam demonstrasi mengatasnamakan lembaga (Studi
Putusan No.l1/Pid/2019/PT.Tjk).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan hukum tentang
pencemaran nama baik terhadap pejabat pemerintah tertuang dalam Pasal 207
KUHP dan Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Modus pencemaran nama baik,
dimana para pelaku melakukan dengan cara melakukannya pada saat demonstrasi
berlangsung, dengan menujukan pencemaran tersebut kepada diri pribadi pejabat
pemerintah daerah, serta para pelaku melakukannya dengan mengatasnamakan
lembaga agar pihak kepolisian tidak menyadari bahwa para pelaku mencemarkan
nama baik pejabat pemerintah tersebut. Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku
dimana Majelis Hakim baik pada tingkat pertama dan pada tingkat kedua
menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap para pelaku, akan saja yang menjadi
perbedaanya terletak pada beratnya ancaman pemidanaan yang dijatuhkan,
dimana majelis hakim tingkat pertama menjatuhkan putusan kepada para pelaku
dengan pidana penjara selama 6 bulan, akan tetapi pada tingkat kedua, majelis
hakim mempertimbangkan lamanya pidana penjara menjadi 5 bulan.