Abstract:
Pertanggungjawaban Pidana adalah Pertanggungjawaban Pidana dalam
Perundang-undangan KUHP tidak mencantumkan secara tegas apa yang
dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana, tetapi pertanggungjawaban pidana
diatur secara negatif yang biasanya menggunakan frasa “tidak dipidana” (Pasal
48, 49, 50, 51 KUHP). “tidak dapat dipertanggungjawabkan” (Pasal 44 ayat (1)
dan (2) KUHP) dan lain-lain. Pengaturan yang demikian menimbulkan lahirnya
teori-teori tentang pertanggungjawaban pidana dalam civil law di Belanda, dan
khususnya di Indonesia yang mengadopsi KUHP Belanda.
Penelitian ini bersifat deskritif dengan pendekatan penelitian yuridis normatif
yang diambil dari data sekunder dengan mengolah bahan buku primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang diperoleh dari studi literature dan
dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapati bahwa pertanggungjawaban
pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Namun dalam pemberian hukuman terhadap
pelaku tindak pidana korupsi harus ditentukan berdasarkan jumlah barang bukti
yang ditemukan. Setiap jumlah barang bukti yang ditemukan memiliki
hukumannya masing-masing. Namun di dalam putusan ini terdapat kekeliruan
yaitu dari jumlah barang bukti yang ditemukan dengan hukuman yang diberikan.
Barang bukti yang ditemukan dalam putusan ini jumlahnya melebihi dari pasal
yang digunakan kepada pelaku tindak pidana korupsi yaitu Pasal 12 A. Sehingga
pasal yang digunakan terhadap si pelaku tindak pidana korupsi seharusnya
menggunakan Pasal 12 huruf (e). Dengan demikian, penjatuhan pasal yang
diberikan hakim tidak sesuai dengan apa yang sudah dilakukan oleh pelaku tindak
pidana korupsi tersebut.