Abstract:
Tindak pidana asal usul perkawinan adalah satu perbuatan yang diancam
pidana dalam KUHP. Perbuatan kejahatan asal usul perkawinan merupakan
pengkaburan identitas diri seseorang harus dipertanggungjawabkan menurut
hukum. Putusan Mahkamah Agung Nomor 937 K/Pid/2013, majelis hakim
menjatuhkan hukuman pada terdakwa dengan putusan hukuman selama 10
(sepuluh) bulan. Putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaturan kejahatan terhadap asalusul perkawinan dalam KUHP, untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana
terhadap kejahatan asal-usul perkawinan, untuk mengetahui pertimbangan hukum
majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 937K/Pid/2013.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang
menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan
permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder
dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Penelitian kepustakaan (Library Research). Analisis data yang digunakan adalah
data kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa pengaturan kejahatan
terhadap asal-usul perkawinan tertuang dalam Bab XIII tentang Kejahatan
Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan. Bab tersebut terdiri dari empat pasal yaitu
277, 278, 279, dan 280. Larangan perkawinan dengan penghalang yang sah secara
khusus diatur dalam Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan asal-usul perkawinan terdakwa
dijatuhi hukuman selama 10 (sepuluh) bulan karena terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengadakan perkawinan
padahal mengetahui bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang
sah untuk itu dan telah memenuhi unsur-unsur Pasal 279 Ayat (1) dan (2) KUHP.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku yang
melakukan perbuatan kejahatan asal usul dalam melakukan perkawinan bahwa
perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur Pasal 279 Ayat (1) dan (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Hakim dalam persidangan tidak menemukan
sesuatu bukti bahwa Terdakwa adalah orang yang tidak mampu bertanggung
jawab atas perbuatannya dan juga tidak menemukan alasan, baik alasan pembenar
maupun alasan pemaaf sebagai alasan penghapus pidana bagi Terdakwa sehingga
dinyatakan bersalah dan patut dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya
yang telah dinyatakan terbukti dan bersalah tersebut.