Abstract:
Tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat publik, Majelis Hakim tidak
selamanya menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu
(hak politik) bagi terdakwa. Akan tetapi, di dalam kasus tindak pidana penyuapan
dan korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Banten, Mahkamah Agung memiliki
pertimbangan lain, yakni memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak
politik terdakwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan hukum
pencabutan hak politik pelaku tindak pidana korups, mengkaji pertimbangan
hakim mencabut hak politik pelaku tindak pidana korupsi dan mengkajiakibat
hukum pelaku tindak pidana korupsi yang dicabut hak politiknya.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengarah kepada penelitian
yuridis normatif yang memberikan gambaran mengenai pertimbangan hakim
dalam mencabut hak politik bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kepustakaan
melalui pendekatan kasus (case approach) yang bersumber dari data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh, mekanisme pencabutan hak politik
pelaku tindak pidana korupsi diawali adanya tuntutan yang diajukan oleh
Penuntut Umum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan tuntutan
yang diajukan oleh Penuntut Umum, kemudian mempertimbangkan tuntutan
tersebut, dengan melihat aspek yuridis, filosofis dan sosiologis. Penjatuhan pidana
tambahan sekaligus dimaksukkan di dalam amar putusan pengadilan.
Pertimbangan hakim dalam mencabut hak politik pelaku tindak pidana korupsi
didasari pada tiga aspek, yaitu aspek yuridis, filosofis dan sosiologis. Aspek
yuridis, bahwa di dalam KUHP dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, diatur
mengenai pidana tambahan yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana
korupsi berupa pencabutan hak politik. Aspek filosofis, terdakwa seharusnya
turut serta memberantas korupsi, namun apa yang dilakukan terdakwa adalah
sebaliknya, sehingga sangat bertentangan dengan semangat dari Undang-Undang
Pemberantasan Korupsi, yang telah menjadi komitmen bangsa Indonesia untuk
dapat memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, secara keseluruhan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di awal dan pasca terjadinya reformasi. Aspek
sosiologis dalam hal ini adalah rasa keadilan masyarakat dan semangat
masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi. Kendala dalam pencabutan
hak politik pelaku tindak pidana korupsi dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu
aspek substansi hukum dan penegak hukum.