Abstract:
Pembayaran premi yang dilakukan melalui agen asuransi tidak selalu
berjalan dengan benar, sering dijumpai kasus-kasus mengenai uang pembayaran
premi melalui agen asuransi yang tidak disetor ke perusahaan asuransi yang
bersangkutan. Akibatnya tertanggung dianggap berstatus polis lapse yaitu polis
dianggap tidak lancar atau tidak efektif karena tidak melakukan pembayaran
premi. Hal ini mengakibatkan dilakukannya pemutihan polis asuransi tertanggung
dengan kondisi yang baru. Artinya premi yang tidak disetor agen tersebut
dianggap bahwa tertanggung tidak melakukan pembayaran premi.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang
menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan
permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder
dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Penelitian kepustakaan (Library Research). Analisis data yang digunakan adalah
data kualitatif.
Tindak pidana penggelapan premi asuransi sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Asuransi tidak dapat dilepaskan dari
rumusan tindak pidana penggelapan yang secara umum di atur dalam Pasal 372
KUHP atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur dalam Pasal 372 KUHP. Hal
ini dikarenakan dalam Undang-Undang Asuransi tidak menentukan lebih jauh apa
yang dimaksud dengan bagian inti "menggelapkan" tersebut. Dengan demikian,
makna bagian inti atau unsur "menggelapkan" dalam undang-undang asuransi,
harus ditafsirkan sebagai "penggelapan" dalam KUHP. Penerapan hukum pidana
kasus tindak pidana penggelapan asuransi berdasarkan dengan fakta-fakta hukum
yang terbukti di persidangan, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa telah
memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu Pasal
21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian,
pasal tersebut memenuhi syarat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa
disebabkan karena jabatan selaku agen asuransi. Pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku telah sesuai dengan
berdasarkan pada analisis yuridis, fakta-fakta persidangan, alat bukti baik berupa
keterangan saksi, barang bukti, keterangan terdakwa petunjuk serta diperkuat
dengan keyakinan hakim itu sendiri. Namun, hukuman yang dijatuhkan kepada
terdakwa masih cukup ringan serta masih jauh dari ancaman maksimal pidanya
yaitu 15 (lima belas) tahun penjara dimana dalam hal ini penjatuhan pidana oleh
hakim terhadap pelaku tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelakunya sendiri
tidak akan menimbulkan rasa takut oleh orang lain untuk tidak melakukan
kejahatan.